SERANG – Kasus penarikan secara paksa kendaraan bermotor yang dilakukan oleh debt collector atau ‘mata elang’ bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Masalahnya, kasus tersebut masih kerap terjadi.
Kepala Bagian Pengawasan Penyidikan (Kabag Wasidik) Ditreskrimsus Polda Banten Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Dadang Herli Saputra menilai, penarikan kendaraan yang dilakukan oleh debt collector atau mata elang ilegal. Sebab, ada mekanisme yang diatur dalam undang-undang terkait penarikan kendaraan wanprestasi atau menunggak. “Tidak bisa (ditarik oleh debt collector-red), itu melanggar hukum,” ujar Dadang kepada Radar Banten, Selasa (17/9).
Dia menjelaskan, dalam sistem kredit kendaraan sudah diatur di dalam Undang-Undang RI Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pemberi dan penerima kredit harus melakukan akta fidusia di hadapan notaris terlebih dahulu. Selanjutnya, setelah akta dibuat, kemudian didaftarkan ke Kantor Kementerian Hukum dan HAM RI untuk mendapatkan sertifikat fidusia.
“Kalau lewat 30 hari (sertifikat fidusia-red) dan wanprestasi harus diajukan dulu ke pengadilan (gugat-red). Karena utang piutang ini tidak bisa diambil begitu saja (perampasan kendaraan-red),” jelas Dadang.
Namun, apabila belum lewat 30 hari pihak pemberi kredit atau sering dikenal leasing dapat mengambil kendaraan langsung. Akan tetapi, penarikan tersebut harus melibatkan aparat kepolisian. “Yang menarik mereka (leasing-red), tapi melibatkan kepolisian,” ujar Dadang.
Dalam melibatkan aparat kepolisian juga ada prosedur yang harus ditempuh. Pihak leasing harus mengirim surat kepada kepala polres atau kepala polda untuk meminta pendampingan petugas dari kepolisian. “Nanti ada surat tugasnya. Ini (surat tugas-red) untuk menghindari adanya oknum (polisi-red),” kata Dadang.
Perampasan kendaraan yang dilakukan oleh debt collector merupakan perbuatan pidana. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 368 KUHP tentang Perampasan dengan ancaman pidana selama sembilan tahun. “Juga Pasal 365 KUHP tentang Pencurian dengan Kekerasan. Ancaman pidananya 12 tahun. Jadi, tidak bisa asal tarik di jalan,” kata Dadang.
Dia menjelaskan, dalam Pasal 36 Undang-Undang RI Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sanksi pidana juga mengancam konsumen yang menjual atau menggadaikan objek fidusia. “Dilarang mengalihkan, menggadaikan, dan menyewakan benda yang menjadi obyek fidusia tanpa persetujuan tertulis dari pemberi fidusia. Ancamannya pidana penjara dua tahun dan denda Rp50 juta,” kata Dadang.
Pihak yang membeli kendaraan objek fidusia juga tak luput dari ancaman pidana. Membeli kendaraan obyek fidusia termasuk perbuatan pidana penadahan. “Yang menerima (membeli-red) kena Pasal 480 KUHP tentang Penadahan,” ucap Dadang.
Kasus pidana terkait pengalihan kendaraan tersebut sudah beberapa kali terjadi di Banten. Begitu juga dengan perampasan kendaraan yang dilakukan oleh debt collector. “Dari pihak leasing banyak buat laporan dan kasusnya sudah ada ditangani di sini (Polda Banten-red),” tutur pria peraih gelar doktor ilmu hukum pidana dari Unpad itu. (mg05/air/ira)