CILEGON – Selain menyelidiki kasus dugaan mark proyek pembangunan dan rehab gedung kantor Kecamatan Ciwandan tahun anggaran 2013, Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilegon juga disinyalir menyoroti dugaan adanya penyimpangan prosedur pelaksanaan pekerjaan dalam proyek tersebut.
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) kota Cilegon memaksa melanjutkan kegiatan itu meski masa kerja yang tertuang dalam Surat Perintah Kerja (SPK) kepada PT Wijayandaru Utama, selaku pelaksana pekerjaan sudah berakhir pada 17 Desember 2013 silam.
Baca Juga : Diduga Mark-up Proyek Kecamatan Ciwandan DPU Dibidik Kejari
Kepala DPU Kota Cilegon, Nana Sulaksana yang dikonfirmasi di kantornya, Senin (9/11/2015) sore, tidak menampik adanya upaya pihaknya tersebut. “Memang sampai tanggal 17 Desember, pekerjaan itu cuma selesai 40 persen. Sedangkan kami sudah membayar pekerjaan 70 persen. Nah, karena kelebihan pembayaran itu, kontraktornya minta toleransi waktu dua minggu agar pekerjaan itu dilanjutkan hingga 70 persen, dan mereka ngasih jaminan. Tapi kenyataannya bukan dua minggu, malah molor sampai Februari (2014),” katanya.
Dalam pembayaran pekerjaan sebesar 70 persen itu, kata dia, pihaknya juga mengamankan retensi sebesar 5 persen, sebagai jaminan pemeliharaan pasca pekerjaan senilai Rp4,2 miliar itu selesai. “Kita sengaja bayarkan 70 persen, nah 5 persennya kita amankan untuk retensi (jaminan pemeliharaan). Tapi itu malah jadi temuan BPK. Kita sudah sempat sanggah ke BPK, tapi sanggahan kita diabaikan,” ungkap dia.
Menindaklanjuti adanya temuan BPK itu, terang Nana, pihaknya sudah merekomendasikan kepada LPSE Cilegon untuk mem-blacklist PT Wijayandaru Utama.
Sementara, Kepala Bidang Cipta Karya DPU Kota Cilegon, Tb Dendi Rudiatna menolak memberikan keterangan terkait dengan kasus penyelidikan dugaan mark up tersebut. Ditemui di Kantor Walikota Cilegon, Dendi beralasan, dirinya belum menempati pos jabatan itu pada saat waktu pelaksanaan pekerjaan dilakukan. “Saya kan (menjabat Kabid Cipta Karya) 2014. Karena itu kan 2013, jadi saya tidak bisa komentar apa-apa ini. Saya takut salah,” kilahnya.
Walaupun demikian, informasi yang dihimpun, Dendi turut dimintai keterangan oleh Kasi Intel Kejari Cilegon terkait dengan adanya dugaan kasus mark up tersebut. “Saya kan pejabat pengendali kegiatan, boleh saja dalam pengumpulan data dipanggil (Kejari), wajarlah. Jadi saya hanya menjelaskan,” katanya.
Pada bagian lain, Kasi Intel Kejari Cilegon Deji Setiapermana mengaku belum mengetahui adanya pekerjaan lanjutan itu kendati SPK sudah berakhir. Ia mengatakan, pihaknya hanya berfokus pada kelebihan pembayaran sesuai dengan hasil audit BPK. “Jadi kalau hasil (Audit) BPK itu, ada kelebihan pembayaran lima persen. lima persen itu adalah item yang tidak dikerjakan. Kalau hasil audit BPK pekerjaan itu cuma 70 persen. Nah, lima persen dari Rp4,2 miliar itu kan Rp200 juta,” katanya. (Devi Krisna)