Jarmat (37), nama samaran, mendambakan pekerjaan di mana dia punya waktu luang banyak dengan keluarga, tapi penghasilan dari kantor tinggi. Sebetulnya cita-cita Jarmat tercapai karena dia kini bekerja sebagai debt collector, sayang profesi yang ia geluti memiliki efek negatif.
Efek negatif sebagai debt collector ternyata cukup kompleks. Mulai risiko keselamatan jiwa, ketenteraman rumah tangga, hingga keutuhan rumah tangga. Nah, ketiga risiko ini telah menghajar Jarmat. Indri (32), nama samaran istri Jarmat, sampai melayangkan gugatan cerai lantaran tidak kuat memiliki suami seorang debt collector. “Saya tidak tahan menjadi istri Jarmat. Pekerjaan dia bikin rumah tangga dengannya tidak nyaman,” ujar Indri.
Ia mengatakan, banyak masalah yang datang akibat profesi yang digeluti Jarmat. Paling sering adalah didatangi keluarga dari orang yang ditagih utang. “Sering tuh yang datang marah-marah ke rumah. Mereka tidak terima kalau Jarmat datang narik barang kreditan punya keluarga mereka,” terangnya.
Indri menyadari jika setiap profesi memang memiliki risiko. Namun risiko sebagai debt collector menurutnya terlalu tinggi, sehingga ia angkat tangan menyikapi tingginya risiko itu. “Lebih baik saya menyingkir. Sebab kalau ada yang tidak suka, mereka datangnya ke rumah. Padahal seharusnya mereka datang ke kantor Jarmat. Tapi tetap saja ke rumah lagi, ke rumah lagi,” kata Nining.
Selain itu, Indri juga beberapa kali harus menangis lantaran Jarmat dilarikan ke UGD Rumah Sakit Dr Drajat Prawiranegara. Jarmat kerap menderita luka parah akibat menerima bogem mentah dari keluarga yang ia tagih utang. “Waktu itu dia diminta menarik motor di wilayah Bojonegara. Polisi telepon saya, katanya suami sedang dibawa ke UGD Serang. Saya kan panik sekaligus khawatir,” jelasnya.
Selain khawatir, Indri pun harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk berobat. Ia kecewa dengan kebijakan perusahaan Jarmat lantaran tidak mengurus biaya perawatan rumah sakit. “Kalau disuruh nagih utang, mereka gigih sekali. Tapi kalau Jarmat luka-luka saat bertugas, pihak kantor angkat tangan. Sedih kalau ingat tentang itu,” tuturnya.
Dilihat dari perawakan, Jarmat memang menyeramkan. Badannya besar sedikit tambun, kulitnya juga hitam. Bekal perawakan itulah yang membuatnya sering dipakai kantor untuk menjadi eksekutor. “Jarmat memang badannya besar, apalagi tangannya. Mukanya juga selalu serius, dia memang jarang tertawa karena orangnya pendiam,” katanya.
Namun, tidak banyak yang tahu jika Jarmat memiliki hati yang lembut. Ia tidak pernah marah-marah kepada Indri, juga kepada kedua anaknya. “Dia itu tipe rumahan, senang berlama-lama dengan anak dan istri. Jadi yang seram itu tampak luarnya doang, padahal hatinya lembut,” ujarnya.
Di mata Indri, Jarmat juga seorang yang murah hati dan penyayang. Jarmat juga tipikal orang yang lebih mementingkan keluarga dibandingkan apa pun. “Kalau ada apa-apa, dia itu selalu mengalah. Dia lebih mementingkan kepentingan saya dan anak-anak ketimbang dirinya sendiri,” tuturnya.
Karena itu, Indri tidak mempersoalkan pribadi Jarmat. Sayang mental Indri tidak kuat menerima efek dari profesi Jarmat. “Bukan Jarmat yang jadi persoalan, tapi saya sendiri. Didatangi orang yang marah-marah, itu yang saya tidak tahan,” tuturnya.
Sebenarnya, ada satu kejadian yang membuat Indri terpaksa angkat tangan sebagai istri Jarmat. Ini ketika beberapa pendekar datang ke rumahnya untuk mencari Jarmat. Ketika itu, kedua anaknya sedang main di depan rumah. Para pendekar itu menggendong anak-anak sambil mencari Jarmat ke dalam rumah. “Empat orang datang ke rumah, anak saya digendong paksa. Anak-anak meronta tapi mereka memegang kedua tangan anak saya,” katanya.
Kejadian itu membuat Indri ketakutan, khususnya terhadap keselamatan anak-anaknya. Karena itu, sehari setelah kejadian Indri kabur dari rumah itu dan kembali pada orangtuanya di Pandeglang. “Saya bawa anak-anak jauh dari rumah. Sebab saya pikir Jarmat sedang terlibat masalah besar,” tuturnya.
Indri sempat tinggal selama tiga bulan di rumah orangtuanya. Selama tiga bulan, Jarmat selalu mengirimkan uang makan untuk Indri dan anak-anak. “Selama tiga bulan, saya tetap diberi nafkah,” terangnya.
Namun setelah berdiskusi dengan sejumlah kerabat, Indri menyadari jika risiko pekerjaan Jarmat terlalu besar untuk ditanggung. Terlebih terhadap keselamatan anak-anaknya. Karena itulah, Indri meminta persetujuan Jarmat untuk bercerai. Alasan Indri, untuk menjaga keselamatan anak-anak mereka. “Ini semua demi anak-anak. Mereka berhak hidup nyaman. Kalau di rumah, sering didatangi orang marah-marah. Karena itu kami sepakat memilih untuk berpisah,” aku Indri. (Sigit/Radar Banten)