SERANG – Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Banten Budiharto Setyawan, mengatakan tekanan inflasi pada tahun 2017 di Banten diperkirakan akan lebih meningkat, seiring dengan membaiknya perekonomian yang mendorong konsumsi masyarakat serta beberapa kebijakan penyesuaian harga oleh pemerintah.
Hal itu disampaikan Budiharto Setyawan pada Rapat Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah Daerah Provinsi Banten untuk Mendorong Reformasi Oangan dengan Menjamin Ketersediaan pangan dan Keterangan Harga bagi Masyarakat, di Hotel Ratu Bidakara, Kamis (14/4). Pada kesempatan tersebut hadir berbagai narasumber diantaranya Bupati Pandeglang, Ina Narulita, Bupati Lebak, Iti Oktavia Jayabaya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2013-2016 Hendar, dan Ketua Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Indonesia Bustanul Arifin.
Menurut Budi, tingkat inflasi Provinsi Banten di tahun 2017, diperkirakan berada di kisaran 5,0% – 5,4% (yoy/year to year). Demikian juga untuk inflasi komponen volatile food, diperkirakan akan meningkat seiring dengan cuaca yang belum kondusif. Adapun target inflasi kelompok bahan pangan tahun 2017 untuk Provinsi Banten adalah 8,4% (yoy).
Dari hasil kajian Bank Indonesia diketahui bahwa terdapat keterbatasan terkait volatile food atau dalam hal ini adalah kelompok pangan, dimulai dari ketersediaan lahan, produktivitas, infrastruktur dan pembiayaan.
“Keterbatasan terkait komoditas volatile food tercermin dari menurunnya pangsa sektor pertanian dalam perekonomian nasional, yaitu dalam kurun waktu 10 tahun terakhir turun dari kisaran 20% hingga 23% menjadi hanya 13%,” ujarnya.
Sementara itu, pada perekonomian Banten, sektor pertanian hanya berkontribusi sebesar 6,12% dari perekonomian Banten pada tahun 2016. Sedikit turun dari posisi tahun 2010 dengan pangsa 6,17%. Namun demikian terlihat bahwa kontribusi sektor pertanian di Banten relatif kecil, lebih kecil dari pangsa nasional.
“Pengelolaan pangan mulai dari produksi, distribusi, dan tata niaga, sampai harga pangan dirasa belum maksimal. Sementara gejolak pasokan dan harga pangan, disparitas harga yang tinggi antara daerah juga mencerminkan regulasi dan insentif pada sektor pertani belum optimal,” katanya.
Selain itu, tingkat konversi lahan masih tinggi trutama di Pulau Jawa, termasuk di Provinsi Banten, yang mengakibatkan luasan lahan tanaman pangan menjadi tidak memenuhi skala ekonomis. Selanjutnya hal tersebut juga akan menyulitkan upaya pengembangan teknologi produksi dan paska produksi menjadi rendah.
Karena permasalahan lain yang dihadapi terkait pangan adalah kualitas infrastruktur berupa kerusakan jalan dan saluran irigasi baik primer maupun sekunder, serta kendala panjangnya rantai perdagangan komoditas pangan yang menjadikan struktur pasar menjadi kurang kompetitif dan pembentukan harga dikuasai oleh level pedagang tertentu. Kondisi inilah yang menyebabkan harga kelompok pangan menjadi tinggi dan sulit dikendalikan.
“Kondisi-kondisi tersebut di ataslah yang kemudian mempengaruhi inflasi di Provinsi Banten menjadi cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Dengan begitu besar harapan kami bahwa Rapat Koordinasi ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam menyusun langkah bersama dalam merumuskan strategi prioritas dalam pengendalian inflasi di Provinsi Banten, serta mendukung ketahanan pangan, dengan tujuan utama yaitu pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten yang stabil dan berkelanjutan serta mensejahterakan masyarakat Banten,” ungkapnya. (Wirda Gariza Haque/risawirda@gmail.com)