TAK selamanya pasangan suami istri itu harus seusia. Edi (36), nama samaran, sepertinya merasa nyaman berumah tangga dengan wanita yang jauh lebih dewasa, sebut saja Marni. Usia Edi dengan Marni bedanya bahkan terpaut sepuluh tahun. Belum lagi status Marni pada saat dinikahi Edi, ternyata seorang janda beranak dua yang ditinggal mati suami. Namun, predikat janda tua sepertinya membawa berkah bagi pria bertubuh kekar tersebut. Apanya yang membawa berkah, hanya Edi yang tahu.
“Awalnya sih biasa saja, namanya dijodohkan. Lama-lama sayang juga. Apalagi, pas tahu kalau istriku itu ternyata banyak warisannya,” ungkapnya. Pantas mendadak sayang, kelihatan dari matanya, ‘Sayu’ alias sayang uang.
Edi mengaku, tadinya hanya status pengangguran selama bertahun-tahun pascalulus sekolah. Pendidikannya juga hanya sampai jenjang pendidikan SMP. Maklum, Edi orang kampung. Di tanah kelahirannya, Pandeglang, Edi hanyalah anak seorang buruh tani. Lain dengan Marni yang memang dari lahir sudah tinggal di kota. Pertemuan Edi dengan Marni tidak direncanakan. Ketika itu sang janda tengah mengunjungi rumah mertua dari suaminya yang meninggal. Tak disangka, mertua Marni ternyata masih ada unsur kekerabatan dengan keluarga Edi.
Sang mertua yang tidak mau kehilangan Marni dan cucu-cucunya pasca ditinggalkan sang anak yang tak lain mantan suami Marni, berupaya menjodohkan Marni dengan Edi, sang ponakan. Awalnya Edi menolak. Apalagi, statusnya masih bujangan. Alasannya, selain wajah Marni juga terbilang biasa saja, dari segi usia juga dianggap Edi terlalu dewasa. Khawatir dipandang orang negatif. Yakni, seolah Edi hanya mengejar hartanya saja. Padahal? “Dikit. Tapi benaran, saya enggak punya niat ke situ (lihat harta). Lagian, enggak kaya-kaya banget juga,” tukasnya. Masa sih?
Namun, atas desakan paman dan kedua orangtua yang merasa bahwa dengan menikahi Marni, Edi berpeluang mengubah masa depannya, akhirnya setuju dengan perjodohan itu. Paling tidak, dengan menikahi Marni, Edi bisa meninggalkan status penganggurannya. Soalnya, Marni sudah mempunyai usaha warungan. Belum lagi, Marni sudah mempunyai rumah sendiri. Rumahnya juga bertingkat, serta kendaraan roda dua dan roda empat. Kondisi itulah yang membuat Edi tidak lagi berpikir panjang untuk menerima Marni yang berstatus janda sebagai istrinya.
Singkat cerita, mereka menikah dan melangsungkan pernikahan secara meriah. Rona kebahagiaan juga tampak di wajah Marni yang sudah mendapatkan pengganti almarhum suami yang lebih baik. Edi sampai saat ini saja, meskipun sudah mendapat keturunan dari pernikahannya dengan Marni masih terlihat fresh, wajahnya juga lumayan ganteng, tubuhnya juga kekar, dan tinggi badan juga ideal. Mendekati sempurnalah. Lain dengan sosok Marni. Kulitnya hitam, wajahnya juga biasa saja, hanya sikap Marni mendekati istri idaman. Marni pandai memanjakan suami, mengurus anak, sampai melayani suami di atas ranjang. “Awalnya sih malu. Soalnya, kalau jalan bareng, banyak yang menganggap kita itu seperti ibu sama anak. Tapi, lama-lama terbiasa tuh,” kilahnya.
Justru, kata Edi, semenjak menikah dengan Marni, hidupnya banyak berubah. Penampilan Edi sudah tidak lusuh lagi karena apa yang dia mau tinggal dibeli. Usaha warungannya terus mengalami kemajuan. Bahkan, sekarang sudah menjadi toko serba-ada. Berdasarkan primbon sih, kata Edi, perjodohan Edi dengan Marni terbilang ideal. Dalam hitung-hitungan sesepuh zaman dulu itu, wadal Edi dengan Marni cocok.
Istilah Sunda-nya ‘ninggang ka sugih‘. Artinya, rumah tangga Edi dan Marni akan terus mendapatkan keberkahan dan kebahagiaan sepanjang masa. “Alhamdulillah, sekarang sudah enggak canggung dan malu lagi jalan sama Marni. Justru makin sayang. Anak-anaknya juga sudah saya anggap anak sendiri, enggak dibeda-bedain sama anak dari darah daging sendiri,” jelas bangga. Syukur deh. “Zaman sekarang itu, daripada dapat istri cantik tapi bikin hidup susah, mending dapat janda tua, tapi bawa berkah,” akunya. Cocok, setuju tuh. Semoga langgeng saja deh. Amin. (Nizar S/Radar Banten)