Oleh : DR. KH. Encep Safrudin Muhyi, MM.M.Sc, Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam” (QS : Ali ‘Imran: 97).
Ritual Haji
Kita bersyukur menyaksikan kaum muslim Indonesia yang berziarah ke Tanah Suci dewasa ini semakin meningkat. Peningkatan yang menggembirakan itu tentunya harus diiringi dengan suatu upaya penggalian untuk menangkap makna dan relevansi ziarah tersebut secara lebih substansial.
Pelaksanaan Umrah dan Haji itu tidak hanya berupa ritual ibadah yang semata-mata hanya untuk menjalankan perintah dan memperoleh ridla Allah, melainkan lebih dari itu. Yaitu, napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci. Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail, yang peristiwanya sangat historis, dan karenanya banyak memberi pelajaran bagi kaum yang mengetahui dan memperhatikannya. Karena itu sangat wajar bila ibadah. Umrah dan Haji dikategorikan jenis ibadah yang paling sempurna. Sebab, ia tidak hanya bisa dilakukan dengan hati tulus-ikhlas, melainkan dengan menyertakan pula pikiran, kekuatan fisik, dan kekayaan material.
Di antara pilar dalam Islam yang diwajibkan kepada umat Islam adalah melaksanakan haji ke Baitullah (Makkah). Ibadah ini merupakan rukun kelima dalam Islam dan dilakukan jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw Beberapa abad sebelum kota Makkah sebagai pusat Islam dengan ditandai lahirnya Baginda Nabi, para nabi sebelumnya sudah melaksanakan haji di kota tersebut.
Ibadah haji mengandung dua hikmah : Pertama, ibadah haji adalah manifestasi penghambaan, serta wahana menampakkan kehinaan dirinya, seperti yang terlihat ketika ihram. Orang berhaji dilarang untuk menghias dirinya meskipun sebenarnya boleh dilakukan di luar haji. Saat ihram, ia dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan perasaan butuh pertolongan dan rahmat Tuhan-Nya.
Kedua, ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah. Dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu badan dan hartanya. Dan, ungkapan yang benar untuk mensyukuri nikmat harta dan badan adalah dengan menggunakannya pada jalan yang diridhai oleh Allah Swt.
Kebermanfaatan Haji
Ibadah haji merupakan salah satu dari kelima Rukun Islam, yakni sebagai rukun terakhir setelah syahadat, shalat, puasa dan zakat. Perintah menunaikan ibadah haji adalah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran, Ayat 97. Dalam Ayat tersebut menjelaskan bahwa ibadah haji itu wajib. Tetapi hukum wajib itu dikaitkan dengan kemampuan karena ibadah ini merupakan sebuah perjalanan yang membutuhkan kemampuan materi dan kekuatan fisik. Bila sebuah ibadah dikaitkan langsung dengan kemampuan para hamba-Nya, maka terdapat hikmah tertentu yang menunjukkan kebijaksanaan Allah SWT. Orang orang beriman akan menerima ketentuan tersebut tanpa berat hati.
Ibadah haji dan umrah, umat Islam dapat membersihkan diri dari dosa, meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, dan mempererat tali silaturahmi sesama umat Muslim. Selain itu, ibadah haji dan umrah juga menjadi sarana untuk merenungi kebesaran Allah SWT dan meneladani perjalanan Nabi Ibrahim As.
Hubungan erat yang membuahkan keterikatan antara hati seorang muslim dengan rumah Rabbnya (Baitullah) yang bersifat terus menerus ini mau tidak mau akan mendorong seorang muslim untuk selalu ingin menghadapkan diri kepada Al-Baitul ‘Atiq (Baitullah), agar dengannya ia merasakan kenikmatan melihat rumah Allah dengan pandangan matanya dan agar tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji yang telah Allah wajibkan bagi siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya.
Manfaat terbesar bagi seorang muslim setelah dia selesai dari pelaksanaan ibadah haji adalah hendaknya ia berusaha agar ibadah hajinya tersebut diterima, dan hendaknya keadaan dirinya setelah menunaikan ibadah haji adalah lebih baik daripada sebelumnya. Sehingga dia berusaha untuk menjadikan ibadah hajinya sebagai langkah awal di dalam melakukan berbagai perubahan dirinya, baik dalam hal perilaku hidup maupun amalan-amalan kesehariannya, dia mengubah kejelekan dirinya dengan kebaikan dan mengubah dirinya dari kebaikan kepada keadaan yang lebih baik lagi. Wallahu A’lam

Penulis Adalah Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Serang / Penulis Buku Islam Dalam Transformasi Kehidupan & Buku Kepemimpinan Pendidikan Transformasional).