SERANG, RADARBANTEN.CO.ID-Pengamat politik dari lembaga Visi Nusantara Subandi Musbah menyoroti jumlah partisipasi pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2024 sebesar 66.05 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 8.926.662 jiwa.
Belum lagi, terdapat daerah yang pada Pilkada serentak ini tingkat partisipasinya di bawah 60 persen, yaitu Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Di sana, angka partisipasinya paling rendah se Banten yaitu hanya 57,1 persen dari total jumlah daftar pemilih tetap Pilkada 2024 di Kota Tangsel sebanyak 1.058.127 jiwa. Artinya, dari 1 juta pemilih itu hanya ada 603.773 penduduk yang menggunakan hak pilih di Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangsel. Dengan begitu, maka terdapat 454.354 jiwa yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. .
Sementara untuk pemilihan calon gubernur Banten, jumlah warga yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 603.937 jiwa. Maka total jumlah warga di Kota Tangsel yang golput mencapai 454.190 orang.
Jumlah partisipasi pemilih ini turun dibandingkan dengan Pilkada 2020, yang mana capaian partisipasi pemilih 60,28 persen.
Hal serupa pun terjadi di Kabupaten Tangerang, dengan jumlah partisipasi pemilihnya hanya 67 persen dari total DPT sebanyak 1.590.657 jiwa.
Angka partisipasi ini mengalami penurunan dibandingkan dengan Pilkada tahun 2018 lalu dengan capaian sebesar 61,55 persen dari jumlah DPT sebanyak 1.866.524 jiwa.
Menurutnya, turunnya partisipasi pemilih ini disebut sebagai kegagalan penyelenggara dalam hal ini KPU. Ia menyebut, jika KPU gagal menjalankan tugasnya untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi.
“Angka partisipasi yang rendah ini bukan hanya karena apatisme masyarakat, tetapi juga karena KPU tidak serius dalam mensosialisasikan Pilkada yang menyentuh langsung rakyat,” kata Subandi.
Subandi mengatakan, muara partisipasi itu ada dua, yakni kepercayaan publik terhadap Pilkada. Kedua, kurang kreatifnya penyelenggara.
KPU, sambungnya, lebih sibuk mengurus kegiatan teknis seperti Bimtek yang sering digelar di hotel mewah, ketimbang alokasi untuk program-program yang langsung menyentuh masyarakat akar rumput.
“Bimtek di hotel hanya menyenangkan segelintir orang, sementara masyarakat di desa-desa tidak paham apa itu Pilkada atau mengapa mereka harus memilih,” ujarnya.
Penulis buku Menuju Demokrasi Substansial ini juga menyayangkan KPU kurang kreatif dan inovatif dalam menyusun strategi sosialisasi kepada pemilih.
Padahal, kata dia, anggarannya sangat besar. Kalau sosialisasi hanya sebatas spanduk dan seminar, tentu masyarakat merasa tidak terlibat.
Masih kata Subandi, anggaran besar yang dikelola KPU habis untuk acara seremonial, sementara masyarakat tidak merasakan dampaknya. KPU harus diberi catatan.
“Untuk itu, harus ada catatan untuk komisioner KPU yang saat ini menjabat, agar Pemilu yang akan datang kejadian seperti ini tidak terulang kembali,” tandas nya.
Reporter : Yusuf Permana
Editor: Agung S Pambudi