SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Saat ini publik tengah ramai membicarakan usulan dari Presiden Prabowo Subianto agar
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tingkat Kabupaten maupun Provinsi dapat dipilih langsung oleh DPRD.
Usulan itu mendapatkan berbagai respons dari berbagai pihak, sebab hal yang sama pernah dilakukan di era sebelum reformasi dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun sudah menyikapi usulan Presiden RI tersebut dengan mematuhi aturan yang dibuat oleh DPR karena setiap pilkada itu di evaluasi oleh DPR untuk perbaikan pilkada selanjutnya.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Kabupaten Serang Ahmad Muhibin menyebut jika usulan itu bukan tanpa alasan. Namun karena melihat mahalnya biaya pada Pilkada kemarin, yang mana Pilkada baik ditingkat kabupaten maupun provinsi hanya diselenggarakan satu saja, namun biaya nya sangat besar.
Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024.
“Apabila kita lihat dari sisi ekonomi masyarakat masih banyak masyarakat yang perlu bantuan dari pemerintah, apabila Pilkada dilakukan oleh DPRD maka dinilai akan lebih efisien secara biaya yang besar yang digunakan untuk pesta demokrasi tersebut bisa dialokasikan kepada masyarakat yang membutuhkan,” kata Muhibin, Sabtu 15 Desember 2024.
Wacana perbaikan sistem Pilkada ini dinilai memberikan nilai positif bagi sistem politik di Indonesia. Seperti di Malaysia, Singapura dan India, bupati dan gubernur dipilih oleh DPRD setempat. Evaluasi sistem tersebut perlu dilakukan selama masih ada dalam koridor yang seharusnya. Ada banyak cara untuk memperbaiki sistem Pilkada yang free and fair serta ada kontestasi politik yang free.
Biaya politik yang besar itu salah satunya dikarenakan karena Penegakan Hukum yang tidak jalan sehingga terjadi money politic yang gila-gilaan.
“Selain itu apabila kita lihat dari sisi sosial budaya yang kita anut di Indonesia, masyarakat belum semuanya sadar akan pentingnya suara rakyat dalam kegiatan pesta demokrasi sehingga masih ada suara yang tidak terpakai dan tidak sedikit pula suara yang rusak dan tidak sah sehingga mengakibatkan golput,” ujarnya.
Menurutnya, Pilkada yang dilakukan oleh DPRD dapat mengurangi Politik Uang dikarenakan pemilihan langsung sering kali menjadi ladang subur bagi praktik politik uang. Dan, memperkuat sistem parlementer lokal, yaitu pemilihan oleh DPRD dinilai dapat memperkuat hubungan kepala daerah dengan legislatif.
“Meski wacana ini menuai kritik karena dinilai dapat mengurangi demokrasi langsung, yang menjadi salah satu capaian penting reformasi. Kekhawatiran lainnya adalah meningkatnya risiko politik transaksional di internal DPRD,” tuturnya.
Menurutnya, sistem ini sudah diterapkan oleh beberapa negara yakni Jerman yang sistem parlementer nya mengamanatkan bahwa kepala daerah tertentu, seperti wali kota di beberapa negara bagian, dipilih oleh dewan legislatif lokal. Proses ini mencerminkan konsensus antara partai politik di parlemen.
Demikian halnya kepala menteri di India, yang memimpin pemerintah negara bagian, diangkat berdasarkan suara mayoritas di legislatif negara bagian serta Malaysia, sistemnya mirip dengan India. Menteri Besar di negara bagian dipilih berdasarkan dukungan legislatif negara bagian, yang dipilih langsung oleh rakyat.
“Dengan ramainya diskusi-diskusi terkait pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD terdapat beberapa implikasi yaitu secara positif, adanya penghematan anggaran pemilu, meminimalisasi konflik horizontal di masyarakat akibat polarisasi politik serta mengurangi beban politik kepala daerah untuk berfokus pada populisme,” tuturnya.
Meski demikian, ia tidak menampik jika terdapat sisi implikasi negatif dari wacana ini, yaitu Demokrasi langsung tereduksi, dan suara rakyat tidak terwakili secara langsung, potensi politik uang dan lobi-lobi di DPRD meningkat serta kredibilitas kepala daerah dapat dipertanyakan, terutama jika ia terpilih melalui konsensus politik transaksional.
Maka dari itu, perdebatan ini perlu melibatkan kajian mendalam terkait aspek biaya, transparansi, dan efektivitas tata kelola pemerintahan, serta mempertimbangkan pengalaman dari negara-negara yang menerapkan model serupa.
Sebab, perubahan mekanisme pemilihan ini berpotensi menimbulkan tantangan baru, terutama terkait kepercayaan publik terhadap proses politik.
“Oleh karena itu, setiap kebijakan terkait wacana ini harus mempertimbangkan aspek demokrasi, akuntabilitas, dan kepentingan masyarakat luas. Alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah memperbaiki sistem pemilihan langsung, seperti memperketat pengawasan untuk mencegah politik uang dan menekan biaya pemilu, daripada menghapuskan hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya,” pungkasnya.
Editor: Bayu Mulyana