Oleh : DR. KH. Encep Safrudin Muhyi MM, M.Sc, Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi
“Wahai Ibrahim serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS Al-Hajj: 27).
Pemersatu Umat
Ibadah haji sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ibadah yang lain, seperti shalat jamaah, shalat Jumat, dan dua shalat hari raya, yaitu tampaknya persatuan umat Islam. Islam menginginkan adanya sebuah ibadah yang bisa menghilangkan sekat kaya, miskin, tampan, jelek, kulit putih, kulit hitam, atau lainnya.
Di sisi Allah Swt, semuanya sama. Oleh karenanya, tentu adanya ibadah-ibadah yang telah disebutkan tidak lantas mempersatukan umat Islam secara mayoritas. Ibadah itu hanya bisa mempersatukan umat Islam di tempat mereka masing-masing. Tentu tidak dengan ibadah haji. Ibadah yang satu ini mampu menampung semua umat Islam yang telah memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk bersatu dalam satu baris dan satu tempat.
Ketika semua umat Islam dari berbagai tempat telah berkumpul di Makkah, maka akan tercipta darinya sebuah hubungan erat dan timbulnya kasih sayang antarsatu dengan yang lainnya. Dari Indonesia akan mengenal orang Arab, begitupun sebaliknya. Orang kulit hitam akan mengenal kulit putih, pun sebaliknya. Orang barat akan mengenal orang timur, pun sebaliknya. Dengannya, akan sangat tampak bahwa mereka bagaikan saudara dari ayah dan ibu yang sama. Dengannya pula, akan tercipta sebuah hubungan yang diikat oleh agama Islam dan tidak akan bisa dipisahkan oleh perbedaan ras dan suku, budaya dan bangsa.
Perintah haji merupakan perintah Allah Swt sejak zaman Nabi Ibrahim. Allah telah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk memanggil manusia untuk berhaji. Lalu Nabi Ibramim menjawab, mereka akan mendatangi Engkau dengan cara berjalan kaki, dan menaiki kendaraan.
Beribadah haji merupakan aktvitas yang membahagiakan. Rasa bahagia yang dirasakan oleh umat Islam dalam menjalankan ibadah haji dikarenakan panggilan Tuhan kepada umat Islam di seluruh dunia. Kekuatan panggilan haji tersebut itu sangat besar. Karena itu, jamaah haji menjawab panggilan Allah SWT dengan ucapannya, labbaik-labbaik Allahumma labbaik, saya penuhi panggilanmu Ya Allah.
Ibadah ritual yang dilaksanakan di Tanah Suci ini tidak hanya menuntut kesiapan fisik, tetapi juga kekuatan iman, keikhlasan hati, dan ketundukan sepenuhnya kepada perintah Allah. Dalam setiap rangkaian ibadah haji, terdapat makna mendalam yang mengajarkan nilai-nilai penghambaan sejati, keikhlasan, dan kesadaran akan kebesaran Allah SWT.
Melalui perjalanan haji, seorang Muslim diajak untuk merenungkan hakikat hidupnya sebagai hamba Allah dan memperbarui komitmen untuk taat sepenuhnya kepada-Nya. Ibadah ini merupakan pemersatu umat manusia tidak memandang ras apapun dan menjadi momen untuk melepaskan segala atribut duniawi dan fokus pada tujuan utama kehidupan, yaitu meraih ridha Allah Swt.
Berkumpulnya Umat Islam di Tanah Suci dinilai sebagai moment pemersatu umat Islam di dunia tanpa membedakan warna kulit dan kedudukan seseorang. Intinya Ibadah haji bertujuan untuk memperkuat dan memperkokoh kesatuan dan persatuan umat manusia dari negara Muslim dalam menghadapi kata-kata kotor, bodoh, arogansi juga permusuhan.
Penghambaan Manusia
Kemabruran haji tidak hanya terlihat dari ibadah yang dilakukan selama berada di Tanah Suci, tetapi juga bagaimana kemudian mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Kemabruran haji dapat diaplikasikan dalam setiap ucapan, perbuatan, dan niat kita. Semoga dengan begitu akan menjadi pribadi yang lebih baik, lebih taat, dan lebih peduli terhadap sesama, begitupun penghambaan seseorang terhadap khaliknya.
Seluruh jamaah haji berdatangan dari segala penjuru di dunia dengan aneka perbedaan. Baik dari segi ras, warna kulit, kebangsaan, hingga mazhab keagamaan. Kendati begitu, ibadah haji justru mempersatukan dan menyetarakan mereka semua dalam satu kondisi ruhani, yaitu sebagai hamba Allah Swt. Seluruh jamaah, tanpa kecuali, melakukan ibadah haji dengan niat yang khusus dan di tempat-tempat yang telah ditentukan syariat Islam. Terdapat pula pelbagai bacaan yang wajib dilantunkan, keharusan melakukan tawaf dan sa’i, mengenakan pakaian khusus, dan melaksanakan pelbagai kewajiban lainnya.
Ibadah haji merupakan perwujudan cinta dan kesetiaan kepada Tuhan, di mana seorang hamba menampakkan kehinaan dan ketergantungannya kepada Allah. Bahwa ibadah haji sebagai, pertama, bentuk penghambaan yang paling tinggi, di mana hamba menunjukkan kepatuhan dan tunduk kepada Allah dengan menjalankan segala rukun dan ketentuan haji.
Kedua, haji adalah manifestasi wujud cinta dan kasih sayang seorang hamba kepada Tuhannya, yang ditunjukkan melalui perjalanan spiritual dan ibadah yang dijalankan dengan penuh kesungguhan. Kehinaan dan Ketergantungan. Ketiga, sebagai puncak Spiritual yaitu Wukuf di Arafah menjadi puncak ibadah haji dan merupakan momen puncak spiritualitas bagi seorang hamba, di mana ia berdzikir dan mendekatkan diri kepada Allah.
Keempat, Ibadah haji juga melatih manusia untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya demi memenuhi panggilan Allah. Dengan demikian, haji penghambaan adalah ibadah yang mengajarkan kepada manusia tentang pentingnya menjadi hamba yang tunduk, patuh, dan mencintai Allah Swt.
Kewajiban beribadah haji memiliki hikmah sebagai bukti penghambaan, dan kehinaan diri sebagai hamba, yang direfleksikan dengan larangan untuk menggunakan apapun yang mengindikasikan diri dengan kemewahan, hingga baju yang halal dipakai hanyalah baju ihrom belaka. Ibadah haji juga merupakan wujud ungkapan syukur atas nikmat Allah, karena dengan ibadah haji, seseorang harus mengorbankan dua hal, yaitu “badan” dan “hartanya”. Kewajiban ibadah haji juga merupakan manifestasi historis dan ketauhidan yang ditampakkan melalui prosesi ritual yang terhubung dengan kisah Nabi Ibrahim alaihissalam.
Dengan demikian, ibadah haji merupakan sebagai bukti penghambaan diri serta wahana penampakan kerendahan dan kehinaan dirinya seperti yang terlihat ketika melakukan ihram. Semua yang berhaji diperintahkan agar tidak berhias, Melarang dirinya untuk menghias walaupun hal tersebut diperbolehkan di luar waktu haji. Saat melakukan ihram semua dituntut berpenampilan sangat sederhana dan menampakkan rasa kelemahan serta merasa sangat butun akan pertolongan dari Allah Swt. Semoga Menjadi haji Mabrur.

Penulis Adalah Pimpinan Pondok Pesantren Fathul Adzmi Cikedal Pandeglang / Penulis Buku Islam Dalam Transformasi Kehidupan & Buku Kepemimpinan Pendidikan Transformasional.