SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Audit kerugian negara terhadap proyek jasa pengangkutan dan pengelolaan sampah pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tangsel tahun 2024 senilai Rp 75,9 miliar disoal.
Alasannya, audit perhitungan kerugian negara tersebut diduga tak sesuai dengan ketentuan undang.
Kuasa Hukum terdakwa Sukron Yuliadi Mufti, Hutomo Daru Pradipta menjelaskan jika instansi yang berwenang untuk menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sedangkan, kantor akuntan publik yang digandeng penyidik kejaksaan menurutnya tidak diberikan kewenangan untuk menetapkan kerugian negara.
“Itu sudah jelas berdasarkan UU, hanya BPK yang berwenang menentukan ada tidaknya kerugian negara,” katanya kepada awak media, Jumat 10 Oktober 2025.
Hutomo mengungkapkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/2016 telah menghilangkan kata “dapat” pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Dampak dari Putusan MK tersebut telah mengakibatkan pergeseran delik.
“Awalnya kedua Pasal tersebut merupakan delik formil, namun pasca Putusan MK Nomor 25/2016 kini bergeser menjadi delik materil,” jelasnya.
Hutomo menerangkan perubahan delik pasca Putusan MK Nomor 25/2016 mewajibkan JPU bukan hanya membuktikan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa.
“Tapi juga jaksa harus membuktikan bahwasannya perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara secara pasti (actual-red). Sehingga dengan demikian JPU harus memiliki hasil audit investigasi dari instansi yang berwenang,” ungkapnya.
Ia menambahkan jika JPU menggunakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (3) UU Tipikor, Jaksa harus memiliki laporan hasil pemeriksaan investigatif dari BPK RI.
“Coba lihat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA 2/2024) dalam ketentuan Kamar Pidana menyatakan hanya BPK yang memiliki kewenangan utk menetapkan kerugian negara,” katanya.
Oleh karena audit tersebut tidak menggunakan BPK maka Hutomo menyatakan surat dakwaan JPU cacat formil.
“Apabila Majelis berpegang pada pandangan bahwa kewenangan penentuan kerugian negara masih berada (konstitusional) terutama pada BPK, maka ketiadaan penetapan atau konfirmasi oleh BPK menjadikan dakwaan prematur,” kata Hutomo.
Ia menjelaskan, dari kontruksi perkara, kasus tersebut merupakan perjanjian kontraktual antara pihak swasta dan instansi pemerintah. Oleh karenanya, potensi kerugian yang timbul merupakan resiko keperdataan sehingga bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hutomo meminta kepada majelis hakim agar eksepsi dapat diterima serta memerintahkan JPU untuk menghentikan perkara tersebut.
“Kami memohon kepada yang mulia majelis hakim yang memeriksa, menangani dan mengadili perkara a quo sekiranya berkenan menjatuhkan putusan sela yang amarnya berbunyi memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk membebaskan dan mengeluarkan Terdakwa Sukron Yuliadi Mufti dari penahanan,” tuturnya.
Reporter: Fahmi
Editor: Agung S Pambudi











