Bangunan kolonial itu kini dibangun digunakan sebagai Polres Serang. Juga di seberangnya yang digunakan sebagai Markas Korem 064/Maulana Yusuf Serang. Keduanya menjadi saksi potret pendidikan Serang di masa kolonial.
KEN SUPRIYONO – Serang
Hujan turun tiba-tiba. Cuaca pun sekita teduh. Seteduh cerita pada tahun 1910. Masa ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan Opleidingen School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Jalan Ahmad Yani, Cipare, Kota Serang. Gedung tersebut kini difungsikan sebagai kantor Polres Serang
Pendirian OSVIA menjadi catatan penting. Menempatkan Serang sebagai kota pendidikan. Masa itu, hanya ada enam kota di Indonesia (dulu Hindia Belanda) yang mendirikan OSVIA. Yakni, Bandung, Magelang, Madiun, Blitar, Probolinggo, dan Serang.
“Sebelum berdiri OSVIA di Serang, anak-anak pejabat Banten mengirim anak-anaknya sekolah ini di Bandung,” kata Sejarawan Banten Mufti Ali kepada Radar Banten, kemarin.
OSVIA hanya satu dari beberapa sekolah di Kota Serang. Masa kolonial, Serang tercatat sebagai kota yang paling banyak berdiri sekolah. Mulai dari Europeesche Lagere School (ELS), Sekolah Desa, Hollandsch-Chineesche School (HCS), Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Sekolah Katolik Roma, Frobel School. Juga Normaal School, yang kini bangunannya dijadikan Markas Komando Resort Militer (Korem) 064/Maulana Yusuf Serang.
Banyaknya sekolah itu tidak lepas dari kedudukan Serang sebagai Ibukota Keresidenan Banten. Masa ketika pemerintah kolonial berhasil menundukkan kekuasaan Kesultanan Banten secara penuh.
Menurut Mufti, pada masa kolonial, Kota Serang menjadi satu-satunya tempat yang paling ramai. Pada dokumen penulis buku Banten dan Pembaratan: Sejarah Sekolah 1833-1942 menyebut, lebih dari 200 orang Eropa dan ratusan orang Tionghoa. Belum lagi, orang-orang perantau dari Arab dan bangsa timur Asia lainnya. “Orang-orang Eropa itu umumnya para pejabat tinggi,” kata Mufti.
Kota Serang juga berstatus sebagai ibukota afdeeling Serang atau wilayah administratif setingkat Kabupaten. Karenanya, banyak juga tinggal keluarga pejabat pribumi. Mulai dari bupati, patih, jaksa, wedana, penghulu kepala, mantri guru, juru tulis, mantri polisi, hingga penilik.
Jauh sebelum OSVIA berdiri, Mufti memotret keberadaan sekolah khusus bangsa Eropa. Keberadaan sekolah itu tidak lepas adanya komite sekolah. Dari penggalian arsip di Belanda, Mufti menemukan besluit atau surat keputusan pergantian anggota komisi sekolah yang ditandatangani gubernur jenderal, tertanggal 18 Desember 1869.
ELS tercatat sebagai sekolah tertua di Banten. Anak-anak pribumi tidak diizinkan masuk sekolah itu. Bahkan di era 1900, ketika kebijakan politik etis diberlakukan Belanda, sekira 63 siswa yang tercatat, tidak ada satu pun warga pribumi. Anak-anak pribumi baru masuk pada 1925. Puncaknya pada 1934, di mana 60 persen siswanya berasal dari pribumi. “Meningkatnya pendaftaran dari siswa bumi putra menjadi warna tersendiri bagi sekolah ini,” kata Mufti.
Tidak hanya Serang, ELS di Banten juga berdiri di Rangkasbitung dan Tangerang.
Menurut Peneliti Banten Heritage Dadan Sujana, tumbuh suburnya sekolah di Serang tak lepas dari masa perpindahan pusat kekuasaan dari Banten Lama ke Serang. Serang yang semula ladang persawahan dijadikan pusat kekuasaan pada masa kepemimpinan Daendels.
“Kolonial harus bikin Kota Serang ini baru dan menghapuskan jejak kesultanan,” katanya.
Sebelum diberlakukannya politik etis, sekolah-sekolah kolonial sudah berdiri. Hanya saja, berlaku sangat diskriminatif. Sekolah dikategorikan sesuai dengan asal usulnya, ras, dan bangsa. “Makanya, ada ELS khusus Belanda, HCS untuk orang China, dan lainnya,” kata Dadan.
Banyaknya sekolah di Serang dinilai Dadan sebagai cikal bakal Serang sebagai kota pendidikan. Fakta sejarah itu bisa menjadi fondasi merumuskan kembali wajah pendidikan di Ibukota Banten.
Menurutnya, ada contoh orang seperti Husein Djajaningrat yang dinobatkan sebagai doktor pertama pribumi di Hindia Belanda. Juga Maria Ulfah sebagai sarjana hukum perempuan di Indonesia.
“Dengan akses pendidikan yang lebih mudah, mestinya tidak ada lagi anak-anak yang tidak sekolah,” ujar penyunting buku Sejarah OSVIA di Serang itu.
Apalagi, mencerdaskan kehidupan berbangsa menjadi tujuan utama berdirinya republik Indonesia. “Saya berharap, ke depan tidak ada sekolah yang memungut biaya.Sepenuhnya biaya itu ditanggung oleh negara. Naif jika kita menyebut sebagai bangsa merdeka, tapi ada orangtua tidak menyekolahkan anak karena biaya,” pesannya. (Bagian I dari tiga tulisan/bersambung*)