Bagi setiap daerah, adanya Alun-alun sangat penting sebagai identitas dan ciri khas daerah. Namun, apa jadinya bila tempat yang selalu ramai dikunjungi warga tersebut kumuh? Kabupaten Pandeglang pernah menjadi satu dari sekian daerah yang mengalami persoalan klasik tersebut.
ADIB FAHRI – Pandeglang
Kabupaten Pandeglang yang dikenal sebagai kota sejuta santri seribu ulama ternyata sempat direpotkan oleh persoalan semrawutnya penataan Alun-alun Berkah Pandeglang. Bagaimana tidak, setiap sore sekira pukul 15.00 WIB sebanyak 70 PKL mulai berdatangan memenuhi pusat kota tersebut. Mereka menjajakan beragam jajanan di seputaran Alun-alun, mulai dari secangkir kopi hingga sepiring nasi. Mereka berjualan menggunakan gerobak di pinggir jalan hingga pukul 24.00 WIB.
Bukan hanya PKL, di dalam Alun-alun pun ada banyak aneka hiburan, mulai dari rumah plastik sampai mainan kereta untuk anak kecil. Banyaknya kegiatan tersebut tentunya menjadikan keadaan di Alun-alun Berkah Pandeglang ramai, tetapi tampak kumuh. Setiap selesai berjualan, sampah sisa para pengunjung selalu menumpuk di sekitar sudut pusat Kota Badak tersebut.
Pemerintah memang tidak tinggal diam mengatasi persoalan tersebut, sosialisasi demi sosialisasi gencar dilakukan. Sulitnya mengatasi persoalan tersebut sempat mendapat perhatian dari Bupati Irna Narulita. Bahkan, orang nomor satu di Kabupaten Pandeglang tersebut menanyakan langsung alasan kenapa mereka (PKL) tidak mau dipindahkan.
Seperti pepatah Sunda yang mengatakan ‘cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok’. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah membuahkan hasil, puluhan PKL itu akhirnya rela dipindahkan ke lahan milik Perhutani yang letaknya hanya sekira 10 meter dari Alun-alun. Tepatnya awal Januari 2017 lalu, puluhan PKL itu secara sukarela memindahkan lapak mereka ke tempat berukuran 20×20 meter yang sudah disediakan.
Kondisi Alun-alun yang dulunya ramai dan tampak kumuh berubah total. Kini, kondisi itu tidak lagi ada, masyarakat yang tempat tinggalnya dekat dengan pusat kota tidak lagi disibukkan oleh tawaran jajanan dari para pedagang. “Kelihatannya Alun-alun yang sekarang ini lebih indah, tenang, nyaman, dan adem. Kalau dulu enggak kaya gini, tiap sore pasti rame. Jalanan macet, sesak banyak orang,” kata Eka, warga Kelurahan Pandeglang, Kecamatan Pandeglang di Alun-alun Berkah Pandeglang, kemarin.
Aktivitas warga seperti lari santai setiap sore pun tidak lagi terganggu. Saat para PKL masih berjualan, trotoar Alun-alun yang biasanya dipenuhi oleh gerobak dagangan, kini bisa dipakai untuk olahraga. Lalu lintas di jalur sibuk itupun tak lagi tersendat, karena kendaraan warga yang biasa terparkir tidak lagi ada. “Enakan sekarang mas, saya bisa lari sore di trotoar bukan di jalan raya. Coba kalau enggak dipindah, pasti masih semrawut,” kata Bustomi, warga Pandeglang lainnya.
Namun, keberhasilan Pemkab melakukan penataan Alun-alun tersebut ternyata meninggalkan pekerjaan rumah. Soalnya, para pedagang yang dipindahkan kini mengeluh, lantaran omzet pendapatan mereka berkurang. “Kalau masih dagang di Alun-alun, biasanya dapat untung Rp200 ribu sampai Rp500 ribu per hari. Kalau sekarang jangankan ngomong untung, kembali modal dagang saja alhamdulillah,” keluh Yono, pedagang mi ayam.
Sebetulnya, para pedagang itu tidak ingin dipindahkan ke tempat milik Perhutani. Alasan mereka, karena bisa memengaruhi keuntungan yang diterima. “Mau bagaimana lagi, kami ini hanya rakyat kecil yang mencari sesuap nasi. Udah disediain tempat saja sudah bagus. Tapi kalau bisa, pemerintah juga memikirkan dampak yang dialami para pedagang,” katanya.
Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah memang tidak selamanya bisa diterima oleh semua pihak. Akan selalu ada sisi positif dan negatif yang melekat. Namun, semua itu kembali lagi kepada tujuan kebijakan tersebut, untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan lain.
Sementara itu, Bupati Irna mengatakan, kawasan Alun-alun tidak boleh dijadikan sebagai tempat berjualan, karena bisa mengganggu aktivitas masyarakat dan bisa menyebabkan kekumuhan. Para pedagang itu, direlokasi ke tempat lain yakni di kawasan gedung Juang yang sekarang dijadikan sebagai pusat kuliner.
Pembangunan pusat kuliner tersebut dibiayai oleh dana corporate social responsibility (CSR) sebesar Rp244,622 juta yang didapat dari salah satu perusahaan di Kabupaten Pandeglang. “Alhamdulillah akhirnya para PKL ini mendapatkan tempat yang layak untuk dijadikan tempat berjualan, sehingga tidak lagi berjualan di taman Alun-alun,” katanya. (*)