RADARBANTEN.CO.ID – Dalam studi yang dilakukan oleh American Psychological Association, ditemukan bahwa kondisi mental seorang janda pada setahun pertama perceraian sangat memprihatinkan.
Dalam kurun setahun ini wanita yang menjadi janda mengalami penurunan substansial dalam kesehatan mental, tetapi akan bangkit kembali di waktu tertentu dan setiap orang membutuhkan waktu yang berbeda-beda.
Ada banyak laporan mengenai janda yang mengalami masalah dalan kesehatan fisik dan mental. Dalam penelitian yang dilakukan oleh asosiasi ini, telah diteliti sebanyak 72.247 wanita berusia 50-79 tahun di Amerika.
Penelitian ini dilakukan pada wanita premenopause yang merasakan kehilangan pasangan di usia paruh baya. Dilaporkan bahwa wanita yang baru saja menjanda memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi.
Mental janda setelah mengalami waktu setahun biasanya akan mengalami perbaikan mental yang lebih baik dan stres berkurang karena tidak harus mengurus pasangan yang sakit.
Dukungan sosial akan sangat berarti bagi seorang yang baru menjadi janda. Bukan karena haus akan kasih sayang, tapi mereka hanya butuh beberapa orang yang siap sedia mendengar keluhan hatinya tanpa penghakiman.
Di negara-negara berkembang, kasus perceraian lebih tinggi dibanding negara maju diakibatkan oleh situasi sosial dan ekonominya.
Dewasa ini perempuan sudah melek akan pendidikan dan mandiri secara ekonomi yang kemudian mereka sadar akan hak-hak mereka yang kemudian berpengaruh kepada meningkatnya angka perceraian.
Dalam berbagai penelitian dilaporkan bahwa stres yang dialami wanita janda merupakan pertanda penyakit kejiwaan, misalnya depresi dan kecemasan berlebih.
Perubahan pola pikir masyarakat juga sangat penting tentang bagaimana seharusnya bersikap dan tidak memberikan stigma negatif terhadap janda. Tidak ada wanita yang sengaja ingin menjanda bukan?
Status janda memberikan segudang masalah dari mulai masalah ekonomi, sosial, hingga masalah psikologis.
Menurut Fasoranti (2007), masalah lain yang dialami seorang janda adalah kesepian. Banyak janda yang hidup sendiri dan menderita ketakutan sendirian kemudian merasa kehilangan harga diri sebagai wanita. Oleh karena itu mereka cenderung menarik diri dari keberadaan sosial.
Dari data statistik Indonesia, kasus perceraian di Indonesia berjumlah 516.334 kasus di tahun lalu (2022). Kasus ini meningkat dibanding dengan tahun lalu sebanyak 447.743 kasus.
Dilaporkan bahwa angka perceraian di tahun 2022 lalu adalah kasus terbesar sepanjang 6 tahun terakhir.
Provinsi yang mengantongi kasus perceraian tertinggi diduduki oleh Jawa Barat dengan 113.643 kasus. Selanjutnya adalah Jawa Timur kemudian Jawa Tengah.
Berbanding terbalik dengan 3 provinsi tersebut, Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat dan Papua Barat tidak ada kasus perceraian selama tahun 2022.
Penyebab utama perceraian di Indonesia dilatarbelakangi oleh pertengkaran, alasan ekonomi, ditinggalkan pasangan, KDRT, dan poligami.
Dari kasus ini dapat diambil pelajaran bahwa setiap pasangan dalam rumah tangga harus berusaha mempertahankan satu sama lain.
Tips agar rumah tangga tetap bahagia, menurut Kemenag Kalimantan Tengah, adalah dengan meluruskan niat, rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Terakhir adalah harus menjalin hubungan yang erat dengan seluruh keluarga terutama orang tua.