PANDEGLANG,RADARBANTEN.CO.ID – Persoalan sampah masih menjadi persoalan di Kabupaten Pandeglang yang belum tertuntaskan. Pasalnya sampah kerap bermunculan di wilayah Pandeglang.
Sampah-sampah itu dapat dijumpai dibeberapa jalan protokol, sampah yang dibuang ke lahan tak berpenghuni, dan area pasar. Tentunya dengan frekuensi yang berbeda sedang hingga parah.
Bahkan buka itu saja, pada tahun 2021 lalu muncul berbagai kasus terkait pembuangan sampah sembarangan seperti di wilayah Teluk Labuan dan muncul kembali ketika gelombang tinggi datang pada April 2024 lalu sampah akhirnya menumpuk kembali.
Meski sudah memiliki Perda Nomor 4 Tahun 2008 tentang Kebersihan dan Ketertiban (K3), dan Perda Nom kkor 4 tahun 2016 tentang Pengelolaan Sampah, dan Perbup Nomor 84 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Kebersihan. Namun Pemerintah Kabupaten Pandeglang mengaku masih kesulitan untuk mengatasi masalah sampah.
Menanggapi terkait hal itu, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pandeglang, Winarno, menjelaskan bahwa DLH hanya melayani pengangkutan sampah bagi warga yang sudah berlangganan atau membayar retribusi. Menurutnya, karena Desa Koranji belum berlangganan, DLH tidak melakukan pengangkutan sampah di wilayah tersebut.
“Saya baru mengetahui situasi di desa tersebut. Yang penting, masyarakat melaporkan ke kami dan mengajukan kerja sama secara resmi melalui surat. Jika tidak ada pengajuan, kami tidak bisa memberikan layanan. Hal ini juga berdampak pada kesehatan masyarakat,” ungkap Winarno, Jumat 23 Agustus 2024.
Winarno menuturkan, armada truk pengangkut sampah sudah beroperasi di 18 Kecamatan. Retribusi untuk layanan ini cukup terjangkau, yaitu Rp 18 ribu per kepala keluarga (KK).
“Armada truk pengangkut sampah beroperasi setiap hari. Namun, hanya warga yang membayar retribusi yang kami layani. Tarifnya murah, hanya Rp 18 ribu,” jelasnya.
Menurutnya, persoalan sampah yang membuang sembarang apalagi menjadi kebiasaan perlu diingatkan oleh semua kepala desa perlu digerakkan.
Kata dia, jalan-jalan protokol sering menjadi sasaran pembuangan sampah oleh oknum yang tidak peduli terhadap lingkungan.
“Bukan hanya pemukiman, jalan protokol pun kerap dijadikan tempat pembuangan sampah oleh tangan-tangan yang tidak sadar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan,” jelasnya.
Terkait operasional armada pengangkut sampah, Winarno menyebutkan setiap kecamatan biasanya dilayani oleh tiga armada, namun pengaturan ini harus dilakukan secara bergantian. Satu kendaraan sering kali harus melayani dua kecamatan, sehingga pengaturan ini dilakukan secara fleksibel.
“Rata-rata kami memiliki tiga armada per kecamatan, yang dioperasikan secara bergantian. Satu kendaraan biasanya melayani dua kecamatan, jadi pengaturannya harus fleksibel,” katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, DLH Pandeglang saat ini baru memiliki pickup 16 unit dan truk 6 unit beserta amrol 15 unit. Itupun hanya mampu melayani di 18 kecamatan di Pandeglang dari 35 kecamatan.
Pihaknya mengaku DLH menghadapi kendala dalam pengangkutan sampah karena keterbatasan armada. Saat ini, DLH hanya mampu melayani 18 dari 35 kecamatan yang ada di Kabupaten Pandeglang.
“Kami hanya mampu melayani 18 kecamatan dari total 35 kecamatan di Pandeglang dengan armada yang kami miliki saat ini. Kami menggunakan truk, amrol, dan pickup untuk pengangkutan, dan sampah yang diangkut dibawa ke TPA Bangkonol dan Bojong Canar,” jelas Winarno.
Sementara itu, Pengamat kebijakan publik dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Banten, Agus Lukman Hakim menilai DLH Pandeglang kurangnya pendekatan sosialisasi kepada masyarakat.
Ia mengatakan, selain pengelolaan sampah dilakukan sosialisasi. Menurutnya, setiap perumahan perlu memiliki tempat sampah sendiri.
“Selain itu, warga juga harus mulai memisahkan sampah organik dan non-organik. Masih banyak masyarakat yang belum paham soal ini,” ujarnya.
Agus juga menyarankan agar pemerintah daerah mendorong warga melalui pemerintah desa untuk mengelola sampah menjadi kompos yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian di sekitar rumah.
“Pemerintah daerah perlu mendorong pengelolaan sampah menjadi kompos agar bisa bermanfaat bagi pertanian lokal,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya penambahan armada pengangkut sampah dan peningkatan jumlah tim untuk membawa sampah ke TPA terdekat, serta memberikan biaya operasional dan upah yang layak.
“Pemberdayaan aktivis lingkungan juga penting untuk menggerakkan kegiatan bank sampah dan edukasi masyarakat. Harapannya, semakin banyak pihak yang terlibat dalam menyelesaikan masalah ini,” tutupnya. (*)
Editor: Bayu Mulyana