KEHIDUPAN rumah tangga Yanto (32), bukan nama sebenarnya, sering dilanda ketidakharmonisan. Hal itu dipicu sang istri, sebut saja Yanti (25), yang memiliki sifat super manja.
Yanti tak bisa memenuhi segala sesuatu yang menjadi tugas dan kewajiban seorang istri seperti yang didambakan Yanto. Seperti mencuci piring dan pakaian, memasak, beres-beres rumah, serta menyetrika. Yang ada, istri Yanto banyak maunya. Gayanya bak orang kaya. Doyan berbelanja ke pasar modern hingga menghabiskan ratusan ribu sampai jutaan, makan di restoran mahal, sampai ikut-ikut arisan besar-besaran dengan teman-teman mainnya.
Dalam hal urusan rumah tangga, Yanti tidak bisa berbuat apa-apa. Yang mampu dikerjakan Yanti dan selalu disambutnya secara antusias hanyalah urusan ranjang. “Soal itu (urusan ranjang-red), jangan ditanya, diservis habis, pasti puas,” aku Yanto terkekeh-kekeh. Hmmm yummi! Padahal, pria berbadan kurus ini dalam membangun mahligai rumah tangga mendambakan sesuatu yang normal layaknya rumah tangga yang dijalani pasangan suami istri pada umumnya. Bukan sekadar memenuhi kepuasan libido semata, melainkan harus terbangun harmonisasi dan normalisasi di dalamnya.
“Jangankan mencuci atau masak, mengurus anak saja enggak bisa,” keluh Yanto. Kondisi itu, kerap memancing emosi Yanto. Ulah sang istri yang selalu bikin pusing, sudah tidak bisa ditolerir Yanto sampai akhirnya Yanto memilih pergi dari rumah.
Sudah tiga hari ini Yanto sengaja tidak pulang dan memilih tinggal di rumah teman. Maksudnya, ingin memberikan pelajaran kepada sang istri agar mau mengubah sikap dan bisa menjalankan tugas serta kewajiban layaknya seorang istri.
“Sudah tiga hari saya ninggalin istri. Kalau cerai saya juga enggak mau. Soalnya, sudah sayang. Saya pergi itu biar istri introspeksi saja, menyadari kesalahannya dan mau berubah,” terangnya. Kalau enggak berubah juga, bagaimana tuh? “Ya itu, lihat nanti deh. Pusing, benaran,” tukasnya.
Diceritakan Yanto, pertemuannya dengan Yanti sebelum menikah terjadi sekira enam tahun silam. Yanto saat itu masih bekerja di perusahaan swasta sebagai marketing properti. Lain dengan Yanti yang masih berseragam abu-abu.
Usia mereka cukup jauh, terpaut tujuh tahun. Yanto anak ketiga dari lima bersaudara, sementara Yanti anak bungsu dari empat bersaudara. Tadinya, Yanto yang dulunya dikenal playboy sama sekali tidak tertarik terhadap Yanti yang bertubuh bohai. Karena desakan kedua orangtua yang menjodohkan mereka, memaksa Yanto akhirnya menerima dipinangkan dengan Yanti.
Singkat cerita, keduanya dipertemukan dalam acara sebuah keluarga. Ayah Yanto dan Yanti ternyata sahabat, teman satu SMA. Hanya, ayah Yanti mungkin lebih beruntung, yakni sukses menjadi pengusaha. Lain dengan ayah Yanto yang hanya pensiunan ASN dengan jabatan terendah. Namun, kondisi itu tak membuat persahabatan mereka berubah. Malahan, ingin memperat silaturahmi dengan cara menjodohkan anaknya.
Awalnya, Yanto tidak begitu merespons, lama-lama melihat karakter sifat manja Yanti yang lucu, serta wajahnya yang manis mampu meluluhkan hati Yanto juga. “Kita pacaran setahun. Tadinya, senang-senang saja. Lucu sih orangnya, manja-manja bagaimana gitu. Setelah saya pikir-pikir, kenapa harus menolak? Bapaknya orang kaya,” katanya. Et dah, matrealistis juga.
Setelah Yanti lulus SMA, keduanya memutuskan untuk menikah. Yanti juga mau cepat-cepat menikah karena tidak mau kehilangan Yanto yang dinilainya super ganteng, gagah, baik, serta pengertian selain sudah mapan. Itu sih pengakuan Yanto, aslinya entah ya?
Seiring waktu, mereka pun melangsungkan pernikahan. Pesta pernikahan berlangsung meriah. Maklum, orang kaya. Banyak tamu-tamu istimewa, terutama kerabat-kerabat ayahnya Yanti yang sama-sama pengusaha hadir pada hari bahagia itu.
Rona kebahagiaan pun tampak pada wajah keduanya. Awal-awal rumah tangga, masih Yanto nikmati. Sifat manja Yanti belum diperlihatkan secara utuh. Masih menikmati hangat-hangatnya pengantin baru.
Kegeraman Yanto mulai tampak pada saat Yanti hamil. Masa-masa mengidam Yanti lain daripada yang lain, banyak maunya dan komersil. Seperti pada saat kandungannya masih seumur jagung, sekira dua minggu, Yanti sudah minta dibelikan tambahan perhiasan yang didapatnya dari mas kawin lalu.
“Mas kawin kan cuma cincin sama kalung 30 gram. Pas mengidam, minta dibelikan gelang emas murni yang 20 gram. Ini mengidam apa kuras kantong suami?” kesalnya. Sabar Kang, demi anak harta paling berharga, yang penting selamat. “Iya sih,” sanggahnya.
Setelah usia kandungan memasuki bulan pertama, permintaan Yanti yang mesti dituruti semakin variatif. Mulai dari minta dibelikan baju baru nan mahal, tas baru, ponsel baru, sampai jalan-jalan ke tempat-tempat wisata yang belum pernah dikunjungi. Beruntung, tuntutan Yanti tidak sampai minta jalan-jalan ke luar negeri.
“Pas ke Bali yang sampai menguras kantong tuh,” ujarnya. Edas, Bali, mengidam yang aneh.
Singkat cerita, sampailah mereka pada saat yang berbahagia. Hari yang ditunggu-tunggu Yanto datang juga. Yanti melahirkan anak laki-laki yang lucu. Sayangnya, kelahiran sang anak tidak diikuti sifat keibuan sang istri. Pasca kelahiran, Yanti enggan menyusui atau sekadar menidurkan sang bayi. Perilaku tak baik Yanti itu, memaksa anaknya dari sejak usia harian, tidak pernah mendapatkan ASI. Yanti malah asyik dengan kegiatan hura-huranya sehari-hari. Shopping ke mal, arisan, reunian, sampai minta antar jalan-jalan ke tempat wisata yang belum pernah dikunjungi. Padahal, kondisi ekonomi Yanto juga tidak semulus orangtua Yanti. Bahkan, terbilang pas-pasan. Makanya, sampai sekarang masih tinggal di kontrakan. Meskipun, kontrakan seukuran rumah.
Kondisi itu rutin dilakukan Yanti hingga menelantarkan anak semata wayangnya. Sampai anaknya menginjak usia lima tahun, jarang diajak main sama ibunya. Situasi itu, membuat Yanti dan anaknya tidak akur. Selama Yanti mengisi rutinitasnya bermanja-manjaan, sang anak selalu dititipkan mertua.
“Makanya, anak sedikit galak, terus enggak nurut. Mungkin gara-gara enggak pernah dapat kasih sayang dari ibunya kali,” terangnya. Mungkin saja sih. Terus ke bapaknya bagaimana? “Alhamdulillah, ke saya sih sama juga,” celotehnya sambil tertawa. Yaelah. “Mau bagaimana lagi. Saya kan orang kerja, bertemu saja jarang,” akunya. Nah, itu dia masalahnya.
Kondisi itu, kerap memancing emosi Yanto hingga naik pitam. Apalagi, selain tidak bisa mengurus anak, Yanti juga benar-benar tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Apa-apa Yanti inginnya praktis. Mencuci pakaian tinggal diantar ke laundry. Mencuci piring, baju, dan menyetrika menyewa pelayanan jasa tetangga secara harian. Hanya pelayanan di ranjang saja yang tidak menggunakan jasa orang lain. Wakwaw.
Mendapat teguran keras dari Yanto, Yanti hanya bisa menangis dan selalu mengancam minta dipulangkan ke orangtua. Sudah seperti lagu lawas yang dipopulerkan Betharia Sonata saja. Situasi yang tidak kondusif itu tentunya membuat rumah tangga Yanto dan Yanti sering berjalan tidak harmonis.
Keduanya sering terlibat perselisihan, di mana Yanto selalu dalam posisi yang mengalah karena menghadapi anak bungsu. Jalannya rumah tangga yang dinilai tidak normal itu, akhirnya menjadi pusat pemikiran Yanto. Badannya yang tadinya tegap, sekarang berubah menjadi kurus kering. Pekerjaan Yanto juga kerap terbengkalai gara-gara banyak memikirkan kondisi di rumah. “Badan saya dulunya kekar loh. Sekarang saja kurus, banyak pikiran. Bagaimana caranya ya menyadarkan istri begitu!” tanyanya. Gadaikan saja Kang. Hehehe bercanda. Sabar saja, nanti juga ketemu jalannya. “Ya, mudah-mudahan saja dengan cara ini (pergi sementara) dia cepet sadar dan mau berubah,” harapnya. Amin. (Nizar S/Radar Banten)