TIGARAKSA – Alotnya penertiban lokalisasi Dadap Cheng In memaksa Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar menemui Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Moechgiyarto di Markas Polda Metro Jaya (PMJ), Rabu (11/5). Pertemuan itu membahas penanganan antara aparat dan Pemkab Tangerang terkait penertiban kawasan lokalisasi Dadap Ceng In.
Hasil pertemuan disepakati harus ada negosiasi ulang. Kapolda dan Pemkab Tangerang bersepakat untuk cooling down sebelum penertiban. “Pertemuan tadi (kemarin-red), kita memaparkan langkah demi langkah sosialisasi termasuk pendataan, dokumentasi, dan sebagainya,” ujar Zaki, seperti dilansir Harian Radar Banten.
Dikatakan Zaki, pertemuannya dengan Polda Metro Jaya juga untuk mengevaluasi penanganan massa hingga terjadi bentrok. Ada beberapa catatan mulai dari penolakan kedatangan Satpol PP dan pengamanan superketat dari aparat gabungan. “Intinya, kita mengoreksi kembali hasil yang kita lakukan kemarin. Langkah persuasif dan taktis harus didahulukan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan,” imbuhnya.
Zaki menjelaskan, sosialisasi sudah digelar sejak Januari. Pendataan dan penandaan rumah yang akan ditertibkan juga sudah dilakukan. “Sosialisasi pendataan sudah kita upload ke YouTube. Ini semua saya beberkan ke Kapolda bahwa apa yang dilakukan Pemkab sudah sesuai dengan ketentuan yang ada,” ujarnya.
Meski ditunda, sambung Zaki, langkah penertiban tetap dilakukan. Sejumlah evaluasi seperti kesalahpahaman akan diminimalkan agar bentrokan bisa dihindari. “Sudah kita lakukan. Sebetulnya kalau kita lihat itu koordinasi komunikasi sudah cukup, tapi mungkin harus lebih intensif lagi ke depan,” paparnya.
Dari pantauan Harian Radar Banten, sehari setelah bentrok, suasana eks-lokalisasi Dadap Cheng In, Kosambi, Kabupaten Tangerang, berangsur kondusif. Meski demikian, itu hanya tampak dari luar, tetapi di dalam kampung sejumlah warga masih bertahan dengan senjata. Malah ada yang sedang menggerinda selang besi menjadi tombak dadakan. “Lumayan buat jaga-jaga,” ujar salah satu warga yang namanya tak ingin disebut.
Aparat kepolisian sudah tidak tampak di lokasi tersebut. Lalu lintas kembali normal. Kendaraan kecil dan besar sudah bisa melewati lokasi tersebut. Meski demikian, sisa abu bekas pembakaran ban membuat Jalan Kali Perancis menghitam. Beberapa warga lainnya sudah melakukan aktivitas melaut. Beberapa coretan di dinding atas penolakan surat peringatan (SP) II pun terlihat. Di antaranya, ‘Kami Menolak Digusur’, ‘Jangan Harap Bisa Gusur Kami’, ‘Kami Menolak SP2’ dan ‘Hentikan Proyek Reklamasi Pantai Dadap’.
Meski awalnya warga menolak awak media memasuki perkampungan, lambat laun warga menerimanya. Salah satu warga Dadap Heru Irawan mengatakan, dirinya akan tetap bertahan, meskipun digusur. Alasannya, tempat tersebut merupakan tempatnya mencari nafkah. Tidak ada keahlian lain selain menjadi nelayan. “Saya cuma bisa berlayar saja Mas, enggak bisa ngapa-ngapain,” katanya.
Ia pun mengaku menolak ganti rugi yang ditawarkan Pemkab Tangerang. Biaya ganti rugi yang belum disepakati harganya pun dinilai tidak sebanding dengan segala penghidupannya. Terlebih, tempat tinggal seperti rumah susun dan kontrakan yang dijanjikan Pemkab masih belum jelas. “Kalau kami tinggal di kontrakan, bagaimana kami bisa melaut? Kami juga akan jauh dari kapal, padahal kami harus siaga apabila laut pasang dan surut. Terlalu jauh apabila kami tinggal di kontrakan. Intinya sih kami mau tetap tinggal di sini. Enggak mau pindah,” papar Heru.
Pria yang sudah tinggal 41 tahun di Dadap ini pun mengaku rencana Pemkab membangun rumah susun hanya akal-akalan saja. Dirinya tidak setuju dengan penggusuran rumah warga.
Sementara itu, Ketua RW 03 Suhanda mengatakan, pihaknya belum mendapatkan kepastian mengenai penertiban itu. Panasnya suasana kemarin adalah bentuk spontanitas warga Dadap. Mulai dari pengamanan hingga sikap represif dari aparat. “Banyak yang marah karena seperti diusir layaknya penjahat. Kita menginginkan penempelan SP II tidak membawa aparat apalagi pakai senjata antihuru-hara,” jelasnya.
Dikatakannya, warga khawatir pembebasan lahan ini membuat mata pencarian mereka hilang untuk selamanya. Penghasilannya sebagai nelayan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hal itu terjadi setelah adanya reklamasi Muara Dadap dan Teluk Kamal. (Togar Harahap/Khanif Lutfi/Radar Banten)