Setahun lalu, saya mendapat amanah melaksanakan program mahasiswa wirausaha, salah satu kegiatan keterampilan dari kampus untuk menyemangati pengusaha pemula dalam meningkatkan jiwa berbisnis. Tak tanggung-tanggung, dana yang saya peroleh belasan juta rupiah. Cukup besar bagi kalangan mahasiswa. Kala itu, saya mengusung usaha pengolahan daun singkong menjadi keripik. Saya menyebutnya Sidukong. Makanan ringan ini lantas dijual di Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Berlabel khas Serang, Banten, dan dibuat di Provinsi Banten.
Di balik usaha ini, ada keprihatinan terhadap oleh-oleh yang dijajakan di Banten Lama. Berdasarkan pengalaman kawan-kawan mahasiswa (kelompok KKN Surjani Universitas Sultan Ageng Tirtayasa) yang sedang melaksanakan penelitian di kawasan bersejarah itu, ternyata para pedagang lebih berhasrat menjual makanan bukan asli Banten. Mereka lebih senang melapak oleh-oleh yang diambil dari berbagai daerah seperti Garut, Lampung, dan Jogjakarta. Padahal, oleh-oleh khas Banten sendiri cukup banyak. Namun, masyarakat setempat telah terbiasa menjajakan atau berjualan makanan dari luar daerah.
Orang tidak asing lagi dengan dodol Garut yang dijajakan di Banten Lama, bahkan pengunjung seperti rombongan ibu-ibu pengajian pun sering membeli jajanan bertekstur lekat dan berwarna pelangi tersebut. Sangat disayangkan. Emping memang masih menjadi primadona di Banten Lama, tapi nomor dua. Tak bisa mengalahkan kemolekan dodol yang telah berekspansi di Tanah Kesultanan. Faktanya, makanan dari Garut itu telah ada sejak puluhan tahun lalu di Banten Lama. Setiap kios selalu menyediakannya, bahkan para pedagang mengaku dodol Garut salah satu oleh-oleh paling laku terjual, terlebih ketika malam Jumat, hari libur, dan hari besar Islam.
Emping, oleh-oleh asli Banten, seolah tidak bisa berdikari di tempatnya sendiri karena tersingkirkan dengan keberadaan dodol Garut yang cukup dikenal para peziarah. Selain itu, makanan terbuat dari olahan biji melinjo tersebut tak miliki label. Para pedagang setempat biasa menjualnya secara curah atau kiloan yang masih mentah. Sedangkan emping matang dengan cara digoreng dan hanya dibungkus plastik transparan tak label khas Banten. Berbeda sekali dengan dodol Garut yang sudah dikemas rapih dan berlogo khas Garut.
Wacana penataan Banten Lama akan dilaksanakan berdasarkan jangkauan waktu yang ditentukan meliputi jangka pendek, menengah, dan panjang. Wajah baru Banten Lama sendiri akan disokong pendanaannya oleh Pemerintah Kota Serang sebesar Rp37 miliar dan pemerintah pusat. Bukan main-main. Dana yang akan digelontorkan ini diwancanakan untuk pembangunan seribu kios, penataan lingkungan masjid, penghijauan, perbaikan jalan dari terminal menuju masjid, dan segala rupa sarana prasarana penunjang kawasan ziarah. Wali Kota Serang Tubagus Hairul Jaman pada saat mengikuti rapat internal dengan sejumlah pejabat dan SKPD terkait di salah satu hotel di Kota Serang, tanggal 3 Februari lalu, mengamini adanya rencana penataan Banten Lama yang digadang-gadang bisa mengubah citra wisata ziarah yang kumuh menjadi lebih rapih, tertata, dan bersih. Pun seandainya wajah baru Banten lebih tertata lagi dengan seribu kiosnya, hal penting yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana caranya agar oleh-oleh Banten bisa dikenal di daerahnya sendiri.
Wisata dan oleh-oleh identik dengan kedaerahannya dan tak bisa terpisahkan. Mengutip kata Kepala Bidang Promosi Wisata pada Disparpora Kota Serang Nursalim ketika berjumpa di ruangannya beberapa pekan lalu. Ia berujar, Bali saja terkenal dengan Joger, Jogjakarta amat dikenal dengan Dagadu, tetapi Banten belum dikenal kekhasannya oleh wisatawan. Fenomena dodol Garut di Banten Lama sendiri telah terjadi puluhan tahun. Oleh-oleh itu cenderung terkenal dan melekat di masyarakat ketika berwisata religi, padahal makanan tersebut muaranya dari Garut, kemudian berekspansi ke Banten lewat pedagang di sekitar wisata ziarah Banten Lama. Sedangkan makanan asli Banten sendiri tidak bisa apa-apa di wilayahnya, khususnya di kawasan penziarahan Banten Lama.
Oleh-oleh Banten Bedikari
Seperti disebutkan di atas, para pedagang memilih berjualan dodol Garut karena mereka merasakan nilai keuntungannya (laris manis). Para pelapak tidak peduli dengan oleh-oleh Banten ataupun bukan. Yang terpenting, omzet penjualannya meningkat. Sedangkan menurut pedagang setempat, oleh-oleh khas Banten sendiri kurang laku. Walhasil, mereka lebih tertarik menjual oleh-oleh yang menguntungkan.
Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah kota, khususnya Disperindaginkop, Disparpora, dan para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Mengapa hal ini terus-terusan terjadi? Apakah pemerintah belum serius mempromosikan makanan daerahnya sendiri? Bila melihat wisata-wisata di tempat lain, semisal wisata Puncak, Bogor, dan Cibodas. Di sekitar wisata tersebut, para pedagang banyak menjajakan oleh-oleh khas Jawa Barat, khususnya dari Bogor seperti keripik bayam, moci, dan masih banyak ragam oleh-oleh yang bisa dibawa pulang untuk wisatawan. Dan ini menjadi promosi tak terduga, karena turis akan memborong oleh-oleh kemudian membagikannya kepada tetangga, kerabat, atau rekan kerja di daerah asalnya. Sehingga, menjadi daya tarik untuk kembali berkunjung ke tempat itu lagi.
Untuk memperkaya makanan khas Banten, pemerintah daerah sebaiknya memfasilitasi atau mengadakan berbagai macam program inovasi pangan dan kewirausahaan. Siapa sangka, daun bayam biasa dibuat sayur bening, bisa diolah menjadi keripik renyah dan menjadi oleh-oleh khas Bogor? Ini karena penduduk dan pemerintah daerahnya terus berupaya melakukan pembaruan menciptakan kreasi pangan. Dampaknya ialah meningkatkan perekonomian sekaligus menambah jumlah turis atau pengunjung setiap tahunnya. Tak ada salahnya bila diaplikasikan di Tanah Jawara untuk terus melakukan inovasi produk terbaru yang belum ada di daerah lain.
Mudah-mudahan, seribu kios yang direncanakan tahun ini rampung dan bisa terisi dengan oleh-oleh khas Banten seperti opak, ranginang, emping, kropcok, bontot, dan makanan asli Banten lainnya agar tidak punah termakan zaman. Selain itu, bisa terus dikenal dan menjadi identitas kedaerahan asli Banten sehingga dengan melihat satu kios saja, wisatawan bisa tahu ragam makanan khas daerah Banten. Apa rasanya saat ini bila turis dari Garut berwisata ke Banten Lama? Serasa ada Garut di Banten Lama. (*)
Muhammad Anton Sitompul, mahasiswa akhir Jurusan Ilmu Komuniasi Universitas Terbuka