SELAMA 30 tahun sudah rumah tangga Bariah (50) dan Raden (58) bertahan. Keduanya nama samaran dan warga Pandeglang. Bahkan, buah hasil pernikahan mereka sampai beranak lima. Semua anaknya juga sudah beranjak dewasa.
Tepatnya, 21 tahun lalu hingga saat ini hidup Bariah dirasa tak nyaman. Bukan karena suami berbuat serong atau tukang bohong, melainkan rasa sayang Raden ditumpahkan kepada anak bungsunya, sebut saja Wati (21). Semua yang Raden punya, pasti diberikan untuk Wati. Termasuk, gaji Raden yang seharusnya diterima Bariah sebagai seorang istri sahnya. Merasa gerah karena tidak dianggap lagi oleh Raden dan sudah berjalan puluhan tahun, di usia perkawinan mereka yang sudah tidak muda lagi, Bariah memutuskan untuk pisah ranjang dengan Raden.
“Capek Mas, ke saya pelitnya naudzubillah. Tapi, ke si bungsu semua dia kasih. Terus saya dianggap apa?” keluhnya. Ow ow ow…maksudnya Ibu cemburu begitu? “Iya lah. Sudah enggak dikasih nafkah soalnya. Buat makan juga dari keringat saya sendiri,” akunya.
Perubahan sikap suami terjadi bukan ketika si bungsu lahir, tetapi pada saat Bariah memilih menjadi wanita karir setelah Wati lahir. Bariah merasa penghasilan suami yang hanya staf biasa di kecamatan tak akan cukup membiayai anak-anak sekolah. Lantaran itu, Bariah dari ibu rumah tangga beralih menjadi wanita pengusaha.
Dengan modal tabungan seadanya dari gaji suami yang disisihkan bertahun-tahun, Bariah pun mulai menjalankan usahanya sebagai pengusaha alat-alat kecantikan. “Bukan punya toko, Mas, tapi usaha kecil-kecilan. Saya keliling dari rumah ke rumah nawarin kosmetik. Lumayanlah buat jajan anak,” terangnya.
Akan tetapi, niat Bariah yang ingin membantu perekonomian keluarga malah dianggap Raden sudah mampu berdikari. Sejak itu, pensiunan PNS itu, tak lagi memberikan gaji bulanannya kepada Bariah. Raden simpan sendiri, ditabung, dan hanya memberikan uang jajan saja dan ongkos sekolah seadanya kepada anak-anak.
Beda dengan si bungsu Wati. Perlakuan Raden terhadap Wati terbilang spesial, beda dengan keempat anak Bariah lainnya. Apa yang diminta Wati selalu dituruti Raden. Pas Wati beranjak remaja memasuki masa SMA lebih parah lagi. Mulai dari perhiasan, ponsel, tas, sepatu, pakaian, sampai alat kecantikan supermahal juga pasti Raden belikan. Melihat perilaku yang dinilai tidak wajar, Bariah mulai menunjukkan perasaan iri terhadap Wati.
“Dari sejak menikah berpuluh-puluh tahun, sekali saja saya tak pernah dibeliin baju. Malah, saya yang sering beliin buat suami. Itu yang namanya sayang sama istri?” ungkapnya kesal.
Jangan berprasangka buruk dulu Bu, kan ada mitos kalau laki-laki belikan pakaian untuk wanita biasanya suka pisah. Mungkin Mas Raden juga begitu. “Ah, enggak percaya,’ sanggahnya.
Lantaran itu, selama bertahun-tahun itu pula Bariah merasa dizalimi. Beruntung Bariah tidak sampai curiga ada sesuatu di antara suami dan anaknya. Itu karena Bariah tahu persis dengan sifat Raden. Rasa sayang Raden memang selalu lebih besar terhadap anak bungsu. Begitu pula terhadap anak laki-laki, sebelum Wati lahir. Perhatian Raden pasti tumpah semua seolah namanya anak bungsu harus paling terperhatikan. Tak jarang kakak-kakak Wati juga diminta Raden untuk memberikan perhatian yang sama. Oh begitu toh. Kirain? Ada udang di balik batu.
“Tapi, ke Wati beda. Wati terlalu dimanja. Takutnya keenakan. Buktinya, kalau enggak dituruti sekali saja, pasti Wati marah-marah ngelawan orangtua,” jelasnya.
Bariah sering mengingatkan Raden, tapi Raden tak pernah mau dengar dan terkesan masa bodo. Padahal, anak-anak yang lain juga sama irinya dengan Bariah. Meski begitu, sekarang semua anak Bariah sudah berkeluarga. Hanya saja, semua ekonomi anak-anaknya bersama keluarga mereka belum stabil. Anak perempuan paling besar menikah dengan buruh pabrik. Begitu pula dengan anak kedua, ketiga, dan keempat statusnya hanya karyawan biasa di perusahaan yang harus menghidupi anak istri mereka. Lantaran itu, mereka masih menggantungkan hidupnya kepada orangtua alias belum mandiri. Bahkan, semua anaknya masih tinggal serumah dengan Bariah. Astaga. Tapi, enggak apa-apalah biar ramai.
“Suami enggak ada pengertiannya. Kalau saya atau anak yang lain minta, pasti bilangnya enggak ada aja. Tapi, kalau Wati yang minta, ada saja tuh. Ini kan enggak adil?” tukasnya.
Diakui Bariah, suami tak pernah lagi memberikannya nafkah lantaran kecewa. Bariah sempat dilarang suami untuk bekerja dan bisa memanfaatkan penghasilan yang ada. Hanya saja, Bariah tidak mau mendengar nasihat suami dan memilih berkarir. Soalnya, menurut Bariah, pemberian suami tidak bisa menutupi keinginannya beli ini itu. Gaji suami hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sementara, Bariah ingin seperti istri-istri lainnya, dimanja suami. Bermimpi suami pulang sengaja membawakan sebongkah berlian dan memberikan uang belanja tambahan selain uang belanja untuk beli beras dan lauknya untuk makan.
“Ini setiap bulan kasihnya pas-pasan. Itu juga kalau makan suami suka banyak maunya. Menunya penginnya beragam. Uangnya mana cukup,” keluhnya.
Dengan alasan sering tekor itulah, Bariah pun akhirnya menjalani niatnya berkarir demi mencari uang tambahan. Namun, aktivitas Bariah itu malah dijadikan Raden sebagai alasan untuk tidak lagi memberikan nafkah dan melampiaskannya kepada Wati. Wati tak pernah mau mengerti akan kondisi rumah tangga orangtuanya yang mulai acak-acakan. “Dasar anak manja. Tahunya pacaran aja,” ketusnya.
Menurut Bariah, Raden berbuat seperti itu karena kesal nasihatnya tidak dituruti Bariah. Makanya, tiada hari di rumah tanpa percekcokan di antara keduanya. Bahkan, tak jarang Raden menuduh Bariah yang bukan-bukan. Soalnya, semenjak Bariah kerja, jadi sering ogah-ogahan melayani suami. Loh kenapa tuh Bu?
“Habis kesal. Jadi, boro-boro nafsu pengin begituan. Malah sekarang saya pisah ranjang. Saya tidur di kamar sebelah yang tadinya buat musala,” terangnya.
Mau sampai kapan pisah ranjang? “Saya begitu biar Mas Raden sadar apa yang dia lakuin selaku suami salah. Kita ini bukan dewasa lagi, kita tuh sudah tua,” ujarnya.
Ya, ya tahu Ibu sama Mas Raden sudah tua. Harusnya introspeksi masing-masing dong. Kalau enggak, mana ada ujungnya. Ya salam. (Nizar S/Radar Banten)