SERANG – Walikota Cilegon nonaktif Tubagus Iman Ariyadi diganjar pidana selama enam tahun penjara di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu (6/6). Iman terbukti bersalah menerima suap untuk rekomendasi atau izin pembangunan mal Transmart Kota Cilegon.
Politikus Partai Golkar itu juga dijatuhi denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. Sementara, tuntutan pencabutan hak politik Iman untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah menjalani masa hukuman ditolak majelis hakim.
“Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum, sehingga hukuman tambahan tersebut (pencabutan hak politik-red) harus ditolak,” tegas Ketua Majelis Hakim Efiyanto dalam sidang vonis, kemarin.
Penolakan pencabutan hak politik itu lantaran majelis hakim berpendapat bahwa jabatan publik itu merupakan amanah yang diberikan. Hak dipilih adalah hak politik yang menjadi bagian hak asasi manusia (HAM) dan diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. “Pidana penjara sudah cukup menjadi pelajaran berharga tidak mengulangi perbuatannya,” ungkap Efiyanto.
Selain itu, ada aturan perundang-undangan lain yang melarang bagi narapidana korupsi mengisi jabatan publik. Sehingga, secara otomatis tidak dapat dipilih. “Dijatuhkan atau tidak dijatuhkan hukuman, secara otomatis tidak dapat dipilih,” kata Efiyanto.
Putusan pidana itu jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, Jaksa menuntut Iman sembilan tahun penjara dan pidana denda Rp275 juta subsider enam bulan kurungan.
Hukuman itu didasarkan atas pertimbangan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa memiliki tanggungan keluarga, dan bersikap sopan selama persidangan sebagai hal meringankan. “Hal memberatkan perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), tidak berterus terang dan tidak menyesali perbuatannya sebagai pertimbangan memberatkan,” beber Efiyanto pada sidang yang dihadiri JPU KPK Dian Hamisena dan Helmi Syarief.
Selain Iman, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Cilegon nonaktif Ahmad Dita Prawira dan politikus Partai Golkar Cilegon Hendri divonis lebih ringan dari tuntutan pidana dalam kasus yang sama. Akhmad Dita Prawira dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Sedangkan, Hendri divonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider satu bulan kurungan.
Sebelumnya, Akhmad Dita Prawira dituntut delapan tahun penjara dan denda Rp225 juta subsider lima bulan. Sementara, Hendri dituntut lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. “Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Hendri selama empat tahun penjara dikurangi selama terdakwa ditahan,” kata Efiyanto.
Vonis itu dijatuhkan seusai mendengarkan surat dakwaan, keterangan saksi dan ahli, tuntutan pidana, pembelaan penasihat hukum serta penelitian barang bukti yang diajukan ke persidangan. “Menimbang translate hasil percakapan melalui telepon dan pesan singkat yang didapat melalui penyadapan yang telah sesuai peraturan perundang-undangan berlaku,” kata Efiyanto.
Kasus suap itu bermula dari kerja sama antara PT Krakatau Industrial Estate Cilegon dengan PT Trans Retail Indonesia (TRI) untuk membangun mal Transmart Cilegon. Proses perizinan pembangunan dilaksanakan secara parsial di antaranya izin penanaman modal, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), SKLH, baru izin lain.
PT KIEC mengadakan lelang dan dimenangkan PT Brantas Abipraya (BA). Manajer Legal PT KIEC Eka Wandoro Dahlan menyerahkan dokumen izin lingkungan kepada Project Manager PT BA Bayu Dwinanto Utomo untuk diajukan ke DPMPTSP Kota Cilegon. Lalu, Bayu Dwinanto Utomo bersama Eka Wandoro Dahlan dan Yohana Vivit bertemu Hendri di ruang rapat manajer legal PT KIEC. “Dalam pemahaman Eka Wandoro Dahlan, Hendri dengan terdakwa Iman Ariyadi dekat karena satu partai,” kata Efiyanto.
PT KIEC melakukan groundbreaking pembangunan Mal Transmart. Iman Ariyadi, Direktur Utama (Dirut) PT KIEC Tubagus Dony Sugihmukti, dan jajaran manajemen PT BA dan PT TRI hadir. Namun, PT BA tidak bisa melakukan pembangunan lantaran terkendala proses perizinan. Sesuai ucapan Dita Prawira, Hendri meminta Bayu Dwinanto Utomo menyediakan uang Rp2,5 miliar. “Akhmad Dita Prawira pernah menanyakan rekomendasi amdal PT KIEC kepada Ujang Iing. Akhmad Dita mengatakan, jangan lu teken (tanda tangan-red) dulu, nunggu arahan pimpinan.” kata Efiyanto.
Pada September 2017, diadakan pertemuan Bayu mewakili PT BA, Herman mewakili PT TRI, dan Priyo Budiyanto, Dony Sugihmukti, Eka Wandoro mewakili PT KIEC, dan Akhmad Dita Prawira serta Hendri. “Bayu Dwinanto Utomo dan Eka Wandoro Dahlan menyatakan keberatan atas permintaan Rp2,5 miliar. PT BA hanya menyanggupi Rp800 juta, sedangkan PT KIEC Rp700 juta,” kata Efiyanto.
Lalu disetujui pemberian uang Rp1,5 miliar ke rekening Cilegon United (CU). Pada 15 September 2017, Tubagus Donny Sugihmukti menemui Iman Ariyadi di rumah dinas Walikota Cilegon. Pertemuan menyepakati pemberian uang Rp1,5 miliar dan mekanismenya dalam bentuk sponsorship atau dana CSR untuk CU.
Seusai pertemuan, Iman memerintahkan Eka Wandoro menemui Akhmad Dita Prawira dan Chief Executive Officer (CEO) CU Yudhi Apriyanto di Birdie Cafe. Yudhi menyerahkan proposal sponsorship untuk pencairan dana. Hasil pertemuan itu dilaporkan Yudhi kepada Iman Ariyadi. Dengan meminjam ponsel milik Yudhi, Iman Ariyadi menghubungi Eka dan meminta dana diserahkan pada 18 September 2017 melalui rekening CU.
Pada 19 September 2017, pencairan dilakukan PT KIEC dengan cara ditransfer dari rekening PT KIEC ke rekening CU sebesar Rp700 juta. Pada 22 September 2017, cek senilai Rp800 juta dari PT BA dicairkan ke rekening proyek Mal Transmart. Uang itu kemudian ditransfer lagi ke rekening CU. “Terkait pembelaan, fakta bahwa terdakwa tidak menerima uang sepeser pun, melalui transfer ke rekening CU FC atas sepengetahuan dan kehendak terdakwa, secara hukum harus diartikan terdakwa telah menerima,” kata Efiyanto menyanggah pembelaan Iman Ariyadi.
Setelah uang dari PT KIEC dan PT BA telah ditransfer ke rekening CU, selanjutnya Iman Ariyadi memerintahkan Yudhi Apriyanto untuk mengambil uang untuk kepentingan operasional pertandingan di Sleman, Jogjakarta, sebesar Rp347,9 juta, dan sisanya Rp1,152 miliar. “Peristiwa (permintaan uang dan pengurusan izin-red) itu tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan,” kata Efiyanto.
Selain itu, uang tersebut seharusnya masuk ke dalam pendapatan asli daerah (PAD) Kota Cilegon, bukan digunakan untuk tujuan lain. Penggunaan uang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan tatakelola keuangan pemerintah. “Terdakwa secara tidak langsung telah menerima hadiah atau janji, melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut jabatannya,” kata Efiyanto.
Atas rangkaian peristiwa itu, majelis hakim meyakini perbuatan ketiga terdakwa memenuhi unsur-unsur Pasal 12 huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama.
“Atas putusan ini saudara terdakwa memiliki hak, pikir-pikir, menerima atau melakukan upaya hukum (banding-red),” kata Efiyanto. Ketiga terdakwa kompak meminta waktu untuk pikir-pikir.
Usai sidang ditutup, Iman Ariyadi didampingi kerabat dan rekan-rekannya keluar dari ruangan sidang. Rasa kecewa terlihat dari wajah Iman. Upaya hukum banding atas vonis tersebut akan ditempuh, bila dia masih menaruh kepercayaan terhadap lembaga peradilan. “Tergantung hati saya, apakah saya masih percaya dengan lembaga hukum di Republik ini atau tidak. Kalau saya masih percaya maka saya akan lanjutkan. Jika tidak, maka saya akan coba memahami dari sudut pandang (lain-red), bisa jadi di akhirat nanti saya yang jadi JPU kepada sidang yang sekarang ini,” ungkap Iman Ariyadi.
Dia menilai kesimpulan perkara yang dibuat oleh majelis hakim tidak sesuai dengan fakta persidangan. Salah satunya, soal perintah permintaan uang tersebut. “Banyak kesimpulan-kesimpulan, yang menurut saya tidak sesuai dengan fakta persidangan. Salah satu contohnya, saudara Hendri tidak mengakui jiku bukan perintah saya. Termasuk Iing (Kepala Dinas Lingkungan Hidup) dan pak Dita juga tidak mengakui,” ucap Iman. (Merwanda/RBG)