SERANG, RADARBANTEN.CO.ID – Mantan Direktur Utama PT Serang Berkah Mandiri (SBM), Setiawan Arief Widodo, dituntut satu tahun enam bulan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang, pada Senin sore, 17 Februari 2025.
Setiawan dinilai JPU terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kegiatan pertambangan pasir pada tahun 2015 dengan total nilai kerugian negara sebesar Rp 1,2 miliar. “Menjatuhkan pidana satu tahun enam bulan dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan,” kata JPU Endo Prabowo di Pengadilan Tipikor Serang.
Selain dijatuhi hukuman penjara 1,5 tahun, Setiawan juga dikenakan pidana tambahan berupa denda sebesar Rp 60 juta, yang apabila tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan. Terkait kerugian negara yang mencapai Rp 683 juta, Setiawan telah mengembalikannya, sehingga ia dibebaskan dari kewajiban membayar uang pengganti. “Denda Rp 60 juta subsider empat bulan kurungan,” ujar Endo.
Endo menjelaskan bahwa tuntutan terhadap Setiawan mempertimbangkan faktor yang memberatkan dan meringankan. Faktor yang memberatkan adalah tidak adanya dukungan dari terdakwa terhadap program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sedangkan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, berterus terang selama persidangan, dan telah mengembalikan kerugian negara. “Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, berterus terang selama persidangan, dan telah mengembalikan kerugian negara,” ungkapnya di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Mochamad Arief Adikusumo.
JPU menilai perbuatan Setiawan terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Sebagaimana dalam dakwaan subsidair,” kata Endo.
Endo menjelaskan bahwa kasus korupsi yang terjadi di BUMD Kabupaten Serang ini bermula pada Juli 2015. Saat itu, mantan Direktur Operasional PT SBM, Iman Nur Rosyadi, diminta oleh Setiawan untuk membuat perjanjian kerja sama dengan usaha tambang pasir milik H Langlang.
Kemudian, Setiawan bersama Iman dan Deni Baskara bertemu H Langlang di Rumah Makan Tamansari, Lippo Karawaci, untuk membahas kesepakatan tersebut. Dalam pertemuan itu, PT SBM membeli peralatan dan izin tambang senilai Rp 1,2 miliar yang berlokasi di Desa Nameng, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.
Setelah sepakat, Setiawan langsung melakukan transfer dari rekening PT SBM ke rekening H Langlang tanpa memberitahukan jajaran direksi lainnya. Keputusan Setiawan itu dianggap bertentangan dengan prosedur yang seharusnya, yakni permohonan ke bagian keuangan yang kemudian diteruskan kepada direksi.
“Seharusnya prosedur yang benar dilakukan dengan cara permohonan ke bagian keuangan, selanjutnya permohonan diteruskan kepada direksi,” katanya.
Endo menambahkan bahwa pertambangan pasir yang tidak sesuai dengan core business PT SBM ini menyebabkan kerugian. Pertambangan tersebut sempat dihentikan oleh polisi dan Satpol PP karena tidak memiliki izin. Selain itu, pertambangan juga terhambat oleh masalah banjir. “Bendungan jebol, dan terjadinya banjir sehingga penambangan berhenti dan peralatan tambang milik PT SBM dijual kepada saksi Davey Alexander,” ujar Endo.
Dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Banten (BPKP), ditemukan bahwa pendapatan PT SBM selama melakukan usaha pertambangan hanya sebesar Rp 5,9 miliar, sementara pengeluarannya mencapai Rp 6,7 miliar, yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 683 juta. “Menyebabkan kerugian negara Rp 683 juta,” tutur Endo.
Editor : Merwanda